Kisruh Laporan Keuangan Garuda, Kementerian BUMN Tak Bisa Intervensi
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lepas tangan dari kisruh laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. tahun buku 2018 yang tidak disetujui oleh dua komisarisnya kepada regulator. Posisi Kementerian BUMN sebagai pemegang saham sehingga tidak bisa mengintervensi Garuda untuk melakukan audit ulang.
"Kami serahkan ke regulator. Kami ikut-ikut saja, kan proses sudah berjalan," kata Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo ketika ditemui di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (3/5).
Meski begitu, Gatot tidak menjawab ketika diminta menerangkan regulator mana yang diserahkan soal kisruh laporan keuangan Garuda, apakah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bursa Efek Indonesia (BEI). "Kan kami sama dengan pemegang saham lainnya," kata Gatot menambahkan.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memanggil kantor akuntan publik (KAP) Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang & Rekan, yang mengaudit laporan keuangan 2018 Garuda Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, Sekretaris Jenderal Kemenkeu Hadiyanto masih menelaah hasil dari pertemuan tersebut.
(Baca: BEI: Garuda Indonesia Perlu Jelaskan Detail Perjanjian dengan Mahata)
Sri Mulyani mengatakan, Kemenkeu belum mengambil keputusan apakah KAP tersebut bakal diberi sanksi atau tidak. "Saya belum bisa ngomong apa-apa, biar nanti dilihat dulu kasusnya," katanya di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (30/4).
Laporan Keuangan Garuda Indonesia Menyesatkan
Laporan keuangan tersebut menjadi masalah setelah dua Komisaris Garuda Indonesia, Chairul Tanjung dan Dony Oskaria, menyoroti metode pencatatan akuntansi pada laporan kinerja keuangan perusahaan yang dinilai tidak sesuai dengan standar. Oleh karena itu, mereka menolak untuk menandatanganinya.
Menurut mereka, perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan yang ditandatangani oleh anak usaha Garuda Indonesia, PT Citilink Indonesia, dengan PT Mahata Aero Teknologi (Mahata) dengan nilai komitmen sebesar US$ 239,94 juta tidak dapat diakui sebagai pendapatan untuk tahun buku 2018.
Jumlah tersebut termasuk pendapatan dan piutang Mahata terhadap PT Sriwijaya Air sebesar US$ 28 juta ditambah PPN sebesar US$ 2,8 juta yang merupakan bagian bagi hasil Garuda Indonesia. Seperti diketahui, perjanjian pengadaan wifi antara Mahata dengan Citilink diperluas ke Grup Garuda Indonesia lainnya yakni Sriwijaya Air.
(Baca: Dua Komisaris Garuda Indonesia Menilai Perusahaan Harusnya Merugi)
Menurut mereka, dengan diakuinya kerjasama dengan Mahata sebagai pendapatan, laporan keuangan tahun buku 2018 yang seharusnya membukukan kerugian sebesar US$ 244,95 juta atau setara Rp 3,45 triliun (kurs: Rp 14.100 per dolar AS), menjadi laba sebesar US$ 5,01 juta atau sekitar Rp 70,76 miliar.
Dengan status Garuda Indonesia sebagai perusahaan publik, ada potensi yang sangat besar atas penyajian kembali laporan keuangan tersebut yang dapat merusak kredibilitas perusahaan. Pengakuan pendapatan tersebut menimbulkan beban arus kas dari kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai yang belum waktunya.
Berdasarkan dokumen yang didapatkan oleh awak media tertanggal 2 April 2019, sikap kedua komisaris tersebut didasarkan kepada tidak ada pembayaran yang telah dilakukan oleh Mahata meskipun telah terpasang satu unit alat wifi di Citilink. Bahkan dalam perjanjian, tidak tercantum ketentuan pembayaran karena pada saat itu kedua pihak masih bernegosiasi tentang tata cara pembayaran.
Selain itu, menurut Chairul dan Dony, tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali (seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara) dari pihak Mahata kepada Garuda Indonesia untuk menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable. Mahata hanya memberikan Surat Pernyataan Komitmen Pembayaran Biaya Kompensasi.
(Baca: RUPST Garuda Indonesia Rombak Susunan Pengurus Komisaris dan Direksi)
Dalam Perjanjian Mahata juga terdapat pasal pengakhiran yang menyatakan Citilink dapat mengakhiri sewaktu waktu dengan alasan bisnis. Padahal, menurut Penyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) nomor 23, dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dapat dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.