IHSG Turun 1,25%, Saham BCA Paling Banyak Dijual Asing
Indeks harga saham gabungan atau IHSG pada akhir perdagangan hari ini, Kamis (18/6) ditutup turun 1,25% ke level 4.925,25. Keputusan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan tak mendapat respon positif dari para investor.
Pelemahan indeks terutama didorong dari sektor industri dasar dan aneka industri serta menurunnya harga saham-saham unggulan. Sektor industri dasar mengalami penurunan paling dalam yaitu sebesar 3,63%, lalu disusul aneka industri 2,4%, dan manufaktur 2,33%, seperti terlihat Databoks berikut ini.
Total volume perdagangan pada hari ini mencapai 8,75 miliar lembar saham dengan nilai transaksi Rp 7,32 triliun. Sebanyak 175 emiten mengalami penguatan, 243 emiten mengalami penurunan dan 154 emiten stagnan seperti kemarin.
(Baca: BI Turunkan Suku Bunga Bikin Investor Khawatir, IHSG Anjlok 1,25%)
Dari 243 emiten yang turun, PT Kresna Graha Investama Tbk (KREN) mengalami penurunan terdalam yaitu 5,92%. Kemudian PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) turun 4,81% dan PT Cardig Aero Services (CASS) turun 4,46%.
Aksi jual di bursa mencapai Rp 3,95 triliun. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi emiten yang paling banyak dijual oleh investor asing. Tercatat net foreign sell (NFS) dari BBCA adalah Rp 26,64 miliar dengan total transaksi mencapai Rp 435,5 miliar. Saham BCA turun 2,36% ke Rp 27.925 per lembarnya.
Di posisi kedua adalah saham PT Astra International Tbk (ASII) dengan NFS Rp 20,18 miliar dan total transaksi Rp 198,62 miliar. Kemudian, saham PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) dengan NFS Rp 18,69 miliar dan total transaksi Rp 40,7 miliar.
Sejak akhir pekan laju IHSG cenderung melemah. Kenaikan tertinggi sempat terjadi pada Selasa lalu. Ketika itu indeks melambung 3,54% ke 4.986. Saham perbankan menjadi penopang lonjakan tersebut.
(Baca: Proyeksi Suram Ekonomi Indonesia Kuartal II dan Dampak Turunannya)
BI Perkirakan Ekonomi Hanya Tumbuh 0,9%-1,9%
Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan suku bunga BI Seven-Day Reverse Repo Rate turun 25 basi s poin ke level 4,25%. Penurunan ini seharusnya menjadi stimulus positif bagi pasar modal karena jumlah uang beredar naik, termasuk ke pasar modal.
Tapi pasar nampaknya masih mencermati kondisi dunia yang belum stabil karena pandemi corona. Beijing, Tiongkok melaporkan wabah Covid-19 muncul kembali di kota itu. Jumlah angka kasusnya secara global hampir mendekati angka 8,5 juta orang.
Ketegangan hubungan di Semenanjung Korea juga menambah ketidakpastian global. Begitu pula dengan bentrokan militer Tiongkok dan india di Ladakh, Kashmir, wilayah yang menjadi sengketa. Sebanyak 20 tentara India tewas dalam insiden dua hari lalu.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini hanya akan tumbuh 0,9% sampai 1,9%. Gubernur Perry Warjiyo mengatakan perekonomian akan kembali naik pada 2021 dengan pertumbuhan 5% sampai 6%. “Didorong dampak perbaikan ekonomi global dan stimulus kebijakan pemerintah dan BI,” ucapnya.
(Baca: BI Beri Insentif 1,5% Untuk Penempatan GWM Bank Mulai Agustus)
Selain itu, beberapa indikator dini permintaan domestik juga mengindikasikan perekonomian telah berada di level terendah dan mulai memasuki tahapan pemulihan. Hal ini tercermin dari penjualan semen, penjualan ritel, purchasing manager index (PMI), dan ekspektasi konsumen yang lebih baik dari capaian bulan sebelumnya.
Bank sentral, ucap dia, memperkirakan proses pemulihan ekonomi mulai menguat pada triwulan ketiga. "Peningkatan sejalan relaksasi PSBB sejak pertengahan Juni serta stimulus kebijakan yang ditempuh," ujarnya.
Berbagai indikator dini pada Mei secara bertahap membaik seperti kinerja sektor manufaktur yang tercermin dari kenaikan PMI Manufaktur dan konsumsi listrik di Tiongkok, pertumbuhan positif sektor properti di Tiongkok dan Amerika Serikat, serta perbaikan PMI jasa di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, meskipun masih pada level yang rendah.
Maka dari itu, perkembangan ini disebutkan ia, mengurangi ketidakpastian di pasar keuangan global dan mendorong aliran modal global ke negara berkembang serta mengurangi tekanan nilai tukar mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.