OJK Wajibkan 6 Perusahaan Publik Catat Saham di Bursa, Ini Daftarnya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat setidaknya ada enam perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, namun tidak pernah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Padahal, di dalam aturan regulator disebutkan, mulai 2023, perusahaan-perusahaan yang tersebut wajib listing di Bursa.
Berdasarkan data yang diperoleh Katadata.co.id dari OJK, keenam perusahaan tersebut yaitu PT Grha 165 Tbk (GRHA), PT Asuransi Adira Dinamika Tbk (ZADI), PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (BBMI), PT Damai Indah Golf Tbk (DMIG), PT Langen Kridha Pratyangga Tbk (LNGN), dan PT Pondok Indah Padang Golf Tbk (PIPG).
"Soal perusahaan publik yang wajib melakukan listing itu ada di Pasal 63 Peraturan OJK Nomor 3 yang baru," kata Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Yunita Linda Sari di Nusa Dua, Bali, Jumat (9/4).
Meski sudah diwajibkan, Yunita mengatakan belum ada satu pun perusahaan yang menjalankan proses listing di Bursa sehingga sahamnya bisa diperdagangkan. "Sekarang yang lagi antre, lebih banyak adalah perusahaan baru yang akan IPO (Initial Public Offering)," katanya.
Selain itu, ada beberapa perusahaan yang dulunya pernah melantai di Bursa, tapi terkena penghapusan pencatatan (delisting) saham karena berbagai alasan. Tercatat ada 28 perusahaan yang statusnya sudah di-delisting, tapi masih berstatus Tbk karena pemegang sahamnya masih lebih dari 50 pihak.
Perusahaan-perusahaan tersebut juga wajib mencatatkan sahamnya kembali. Beberapa di antaranya PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN), PT Indo Setu Bara Resources Tbk (CPDW), PT Ryane Adi Busana Tbk (RYAN), PT Grahamas Citrawisata Tbk (GMCW), dan PT New Century Development Tbk (PTRA).
Peraturan OJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal ini bersifat wajib bagi seluruh perusahaan terbuka. POJK ini merupakan pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995.
POJK ini mewajibkan perusahaan yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dilakukan dan dicatatkan di bursa. Kemudian mendaftarkan efeknya pada penitipan kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
OJK memberikan masa transisi dua tahun bagi pihak yang melakukan penawaran umum efek tetapi belum mencatatkan efeknya di Bursa, sebelum POJK ini berlaku. Setelah 2023, tidak ada lagi perusahaan terbuka yang tidak mencatatkan sahamnya di BEI.
Terkait aturan ini, OJK sudah berkomunikasi dengan semua pemangku kepentingan, termasuk perusahaan terbukaan non-listed. Dengan begitu semua pihak dirasa sudah siap menjalankan peraturan ini.
Selain mewajibkan perusahaan terbuka untuk listing di Bursa Efek, kini OJK memiliki wewenang baru dalam POJK tersebut. OJK bisa memerintahkan perubahan status perusahaan terbuka menjadi perseroan tertutup. Selain atas perintah OJK, perubahan status tersebut bisa dilakukan atas permohonan perusahaan sendiri atau permintaan BEI.
"Dalam kondisi tertentu, OJK dapat memerintahkan perusahaan terbuka untuk mengubah status dari perusahaan terbuka menjadi perseroan yang tertutup," kata Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana dalam konferensi pers virtual, Selasa (9/3).
Kondisi tertentu tersebut antara lain terdapat perintah dari otoritas berwenang untuk memerintahkan perubahan status terbuka menjadi perseroan yang tertutup. Kondisi lainnya, sudah tidak beroperasi secara penuh selama paling singkat 3 tahun terakhir.
OJK membuat aturan ini sebagai upaya melindungi investor. Dengan aturan ini, investor memiliki wadah dan pasar untuk melakukan transaksi sahamnya. Jika tidak listing di Bursa, maka transaksi hanya bisa dilakukan di pasar negosiasi yang jauh dari kontrol OJK.
"Perusahaan publik kan harusnya terdaftar, listing di bursa juga. Bukan sekadar menumpang di OJK, yang penting sudah menjadi perusahaan publik. Ini yang menjadi tidak sehat," kata Djustini.