Berkah Krisis Evergrande, Rights Issue BRI Serap Dana Publik Rp 41 T
Sampai masa penawaran ditutup akhir pekan lalu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk memperoleh dana hasil penerbitan saham baru dari publik secara penuh Rp 41 triliun, sesuai target perusahaan.
Jika diakumulasi dengan dana pemerintah, aksi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue BRI mencapai Rp 96 triliun, dan diklaim menjadi penerbitan saham baru terbesar di Asia Tenggara.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (27/9).
"Rights issue BRI dilakukan secara penuh Rp 96 triliun. Jadi ini terbesar yang ada di Southeast Asia (Asia ), mungkin 5 besar di Asia," kata Tiko, sapaan akrabnya.
Menurut dia, hal ini merupakan momentum yang menunjukkan bursa saham Indonesia masih dianggap sebagai pasar yang tumbuh positif, terlebih dengan konsep Holding Ultra Mikro yang digadang pemerintah.
Sebelumnya, BRI berencana menerbitkan 28,21 miliar saham baru atau 18,62% dari total modal perusahaan. Aksi korporasi ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pembentukan Holding Ultra Mikro.
Emiten berkode saham BBRI ini menetapkan harga pelaksanaan saham Seri B tersebut Rp 3.400 per saham. Untuk setiap 1 miliar saham yang ada akan diberikan juta hak saham baru.
Pemerintah berpartisipasi melalui penukarang (inbreng) saham PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) senilai Rp 54,77 triliun. Masyarakat ditargetkan berpartisipasi melalui pembayaran tunai sebesar Rp 41,15 triliun.
Efek Kasus Evergrande bagi BRI
Tiko menyampaikan keberhasilan bank pelat merah ini dalam menerbitkan saham baru juga tak terlepas dari kondisi ekonomi global saat ini.
Menurut dia, potensi gagal bayar utang perusahaan properti asal Tiongkok Evergrande menguntungkan pasar saham Indonesia. "Evergrande sebenarnya ada positifnya buat kita, karena dengan Tiongkok sekarang mengalami permasalahan, justru equity (ekuitas) di Tiongkok ditinggalkan investor," kata Tiko.
Dia mengatakan, investor di Tiongkok kini mencari pasar saham baru di kawasan Asia, salah satunya di Indonesia. "BRI dapat keuntungan karena mereka (investor) ada alokasi portofolio dan kalau ada barang (saham) baru ditubruk karena mereka exit dari Tiongkok," ujarnya.
Sebelumnya, anggota DPR Komisi VI dari fraksi PDI Perjuangan Mufti Anam mengatakan, kasus gagal bayar Evergrande akan berdampak besar terhadap ekonomi global dan berdampak sistemik sampai ke Indonesia. Pasalnya, nilai utang Evergrande mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.200 triliun.
"Harapan kami, bisa diantisipasi agar implikasinya tidak di sektor keuangan kita. Juga ke BUMN karena banyak yang ekspor komoditas ke sana, misalnya tambang, CPO, dan lainnya," katanya.
Dengan besarnya nilai utang Evergrande dan kalau dalam 30 hari gagal bayar, Mufti menilai tentu akan berdampak pada ekonomi Tiongkok yang juga akan menurunkan harga komoditas di sana. Ketika harga turun, tentu kinerja keuangan BUMN yang melakukan ekspor ke sana akan terganggu.
"Harapan kami, dicarikan solusi opsi lain kalau tidak ekspor ke Tiongkok. Kalau penurunan harga komoditas solusinya seperti apa?" kata Mufti.