BEI Gandeng IFC Perkuat Praktek ESG di Pasar Modal Tanah Air

 Zahwa Madjid
16 Maret 2023, 10:50
BEI Gandeng IFC Perkuat Praktik ESG di Pasar Modal Tanah Air
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/YU
Karyawan berada di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/2/2023). Perdagangan IHSG di akhir pekan ini ditutup melemah 17,04 poin atau 0,25 persen ke posisi 6.880,3.

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menandatangani nota kesepahaman dengan International Finance Corporation (IFC) untuk memperkuat praktik environmental (lingkungan), social (sosial), dan governance (tata kelola) atau ESG di pasar modal Indonesia, Kamis (16/3).

Perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI tengah bersiap untuk meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesetaraan gender sebagai bagian dari kesepakatan yang akan turut membuat mereka lebih menarik di mata investor yang berfokus pada aset berkelanjutan.

Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan upaya perusahaan untuk menimbang masalah ESG dengan lebih baik, termasuk risiko terkait iklim, dan membantu mereka dalam mencapai tujuan keberlanjutan.

Direktur BEI Risa E Rustam mengatakan dalam pidatonya bahwa penandatanganan nota kesepahaman tersebut dapat memperkuat ekosistem di pasar modal Indonesia di mana bisnis dan keberlanjutan berjalan seiring.

“BEI ingin mengembangkan ekosistem pasar modal Indonesia untuk mengadopsi dan memanfaatkan praktik-praktik berkelanjutan. Kolaborasi ini akan menjadi platform untuk mendorong ekosistem investasi hijau di Indonesia dan memperkenalkannya kepada penonton internasional,” kata Risa dalam acara Peluncuran Kolaborasi ESG IFC dan IDX dan Pelatihan Kepemimpinan ESG, Kamis (16/3).

Peluncuran kolaborasi ini juga menandai dimulainya seri pengembangan kapasitas kepemimpinan ESG, yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan Standar Kinerja IFC dan Metodologi Tata Kelola Perusahaan serta membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam menangani topik-topik penting terkait ESG, termasuk tata kelola lingkungan dan sosial yang efektif dan sistem manajemen risiko, pengungkapan dan transparansi, risiko dan mitigasi iklim, serta gender. 

“Dua puluh sekian tahun yang lalu, tidak ada acuan dalam mengelola risiko dalam pembiayaan proyek di negara berkembang, jadi kami membuat seperangkat standar kinerja. Hari ini, apa yang kami pelajari dari pengalaman adalah bahwa keberlanjutan dan profitabilitas bukanlah tujuan bisnis yang terpisah, dan kami melihat investor institusi semakin mengintegrasikan pertimbangan ESG ke dalam keputusan investasi mereka,” ujar Pejabat Country Manager IFC untuk Indonesia dan Timor Leste, Randall Riopelle . 

Sebagai informasi, Indonesia berada pada peringkat tiga negara teratas dalam hal risiko iklim, dengan paparan banjir yang tinggi, panas ekstrem, dan kenaikan permukaan laut. Transisi Indonesia ke masa depan rendah karbon dan tahan iklim akan membutuhkan investasi besar dan peran sektor swasta sangatlah penting.

Penguatan praktik-praktik ESG juga akan memungkinkan pasar modal memainkan peran yang lebih besar dalam transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon dan tahan iklim. 

“Ada pengakuan yang berkembang dari pasar modal bahwa pengungkapan transparan terhadap faktor tata kelola, lingkungan, dan sosial membantu investor dalam membuat keputusan berdasarkan informasi dan penilaian paparan terhadap risiko dan ketahanan,” kata Duta Besar Swiss untuk Indonesia, Timor-Leste, dan ASEAN, H.E. Olivier Zehnder.

Kerja sama ini merupakan bagian dari program ESG Indonesia Terintegrasi yang diluncurkan oleh IFC dan SECO untuk membantu pembuat kebijakan, investor, perusahaan, dan para mitra di Indonesia untuk mengelola risiko dan hambatan ESG dengan mempromosikan manajemen pengambilan keputusan dan risiko lingkungan dan sosial yang efektif. 

Selain bekerja sama dengan pembuat kebijakan di Indonesia dan BEI, IFC juga mendukung lembaga direktur lokal, pusat pelatihan, dan memberikan saran ESG kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Penandatanganan MoU ini juga mendukung upaya perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk menyelaraskan dengan praktik terbaik secara internasional.

Sementara negara-negara berkembang masih membutuhkan dana yang signifikan sekitar US$ 2,5 triliun kebutuhan pembiayaan untuk mencapai SDGs, dengan proyeksi tambahan kekurangan sebesar US$ 1,7 triliun akibat Covid-19—IFC memperkirakan terdapat lebih dari $23 triliun peluang investasi pada sektor hijau dan terkait iklim serta aktivitas yang dapat membantu mencapai tujuan nasional yang selaras dengan Perjanjian Paris dan mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon. 

Reporter: Zahwa Madjid
Editor: Lona Olavia

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...