Window Dressing Bakal Hampiri Bursa RI? Saham Ini Berpotensi Raup Cuan
Fenomena window dressing di bursa saham domestik diprediksi bakal muncul kembali setelah sempat 'menghilang' pada saat pandemi Corona. Emiten berkinerja cemerlang dengan fundamental yang kuat tapi secara valuasi masih murah berpotensi meraup keuntungan.
Window dressing adalah aksi yang biasa dilakukan manajer investasi dan emiten demi mempercantik portofolio atau performa laporan keuangan. Lewat strategi ini, tampilan portofolio dana yang dikelola atau laporan keuangan emiten menjadi kian menarik di mata investor atau pemegang saham.
Fenomena window dressing berhubungan erat dengan dua momen lainnya, yakni Santa Claus Rally dan January Effect. Momentum yang berlangsung sejak Desember hingga awal tahun itu sangat dinanti para pelaku pasar, karena selalu menjanjikan kenaikan harga saham di luar kebiasaan.
Menurut MNC Sekuritas, fenomena window dressing secara tidak langsung menyebabkan kenaikan harga saham-saham unggulan. Karena aksi ini dilakukan oleh hampir seluruh manajer investasi di seluruh dunia, maka pada akhir tahun indeks harga saham umumnya akan bergerak naik.
“Window dressing yang paling signifikan terjadi di akhir tahun, biasanya harga saham akan menguat sampai Januari, yang dikenal juga dengan sebutan January Effect,” tulis MNC Sekuritas, dikutip Senin (13/11), dalam risetnya.
Berdasarkan data BEI, pada Desember 2022, IHSG ditutup di level 6.850,61, turun 2,4% dari level 7.020 pada 1 Desember 2022. Penurunan dalam 1 bulan ini mematahkan sejarah kenaikan IHSG dalam 20 tahun terakhir, khusus di bulan Desember. Padahal, sejak 2002, IHSG selalu naik di Desember karena fenomena window dressing.
Akhir pekan lalu, IHSG ditutup turun 0,,42% di 6.809 dengan nilai transaksi Rp 7,75 triliun dan volume perdagangan 16,49 miliar saham. Dalam sepekan terakhir, IHSG naik tipis 0,30%, didorong saham-saham unggulan seperti PT Barito Pacific Tbk (BRPT) +12,98%, PT Petrosea Tbk (PTRO) +9,05%, PT XL Axiata Tbk (EXCL) +8,29%, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) +6,45%, dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) +3,14%.
Saham Infrastruktur Telko
Terkait dengan laju IHSG, Macro Strategist PT Samuel Sekuritas Indonesia, Lionel Priyadi menilai pidato Jerome Powell, Chairman bank sentral AS, Federal Reserve, yang bernada agresif (hawkish) dalam acara IMF pada 10 November lalu, sedikit banyak bisa mempengaruhi arah negatif indeks.
Namun, laju IHSG akan cenderung sideways di rentang 6.600-6.900 dengan potensi bisa mencapai 7.000 di akhir tahun karena masih adanya efek positif dari windfall commodity alias berkah komoditas tahun lalu. “Selain itu, pergerakan IHSG masih lebih atraktif dengan turun 0,2% sejak awal tahun ini dibandingkan dengan MSCI Asia, kecuali Jepang yang sudah turun 2,3%,“ tulis Lionel dalam riset teranyar Samuel Sekuritas.
Samuel Sekuritas pun merekomendasikan sektor infrastruktur telekomunikasi (telko) sebagai pilihan, di samping sektor lain seperti rumah sakit, rokok, dan ritel makanan. Sektor konsumer diprediksi bakal menguat imbas dari hajatan politik lima tahunan.
Khusus untuk infrastruktur telekomunikasi, ada nama emiten menara telekomunikasi PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel. Anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) ini menyimpan daya tarik tinggi karena harga sahamnya saat ini belum mencerminkan kinerja keuangannya.
Dari sisi laporan keuangan 9 bulan atau per September 2023, MTEL meraih hasil paling positif dibanding kompetitor. MTEL meraih laba bersih Rp 1,43 triliun, naik 17% dari sebelumnya Rp 1,23 triliun. Raihan laba bersih ini sejalan dengan pendapatan Mitratel yang naik 12% menjadi Rp 6,27 triliun dari Rp 5,61 triliun.
Dua analis Samuel Sekuritas, Yosua Zisokhi dan Daniel Widjaja, juga memberikan rekomendasi beli untuk saham MTEL dengan target harga Rp 875/saham. Keduanya menilai, MTEL memiliki ruang tumbuh di industri menara telko dan kondisi keuangannya solid untuk berekspansi. "Rasio utang terhadap ekuitas atau debt equity ratio/DER Mitratel hanya 0,45 kali dan net debt/EBITDA 1,96 kali,” tulis keduanya, dalam riset 2 November 2023.
Keduanya menilai, memang ada risiko utama sektor ini yakni perubahan regulasi soal menara telko dan potensi pelemahan permintaan sektor menara. Tapi ke depan, keduanya percaya prospek bisnis MTEL. Bahkan pertumbuhan pendapatan MTEL ke depan akan didukung oleh non Telkom Group, terutama PT Indosat Tbk (ISAT) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang masing-masing naik +37,7% year on year (YoY) dan 40,4% YoY di Q3-23.
“Kami meyakini pendapatan non-Telkom Group akan menjadi penopang revenue MTEL jangka panjang," kata dia.
Hal ini turut didukung tenancy ratio yang masih rendah, 1,5 kali, yang membuka potensi kolokasi, tertutama di luar Jawa. Saat ini pertumbuhan tenant terbesar ada di Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, menyumbang pertumbuhan tenant lebih dari +7% YTD.
Sementara itu, Macquarie juga mempertahankan rekomendasi outperform buat MTEL. Rekomendasi ini biasa disematkan untuk saham yang diestimasi naik di atas pasar. Macquarie membeberkan tiga katalis MTEL, yakni anggaran belanja modal (capex) yang lebih tinggi di 2024, bank sentral yang akan mempertahankan atau memotong suku bunga, dan konsolidasi lebih lanjut dari operator telko.
“Kami mempertahankan outperform, dengan target price [TP] Rp800. TP ini berbasis arus kas terdiskon [DCF] kami yang menyiratkan forward EV/EBITDA sebesar 9,3 kali dan forward dividend yield [DY] sebesar 3,2%,” sebut Macquarie.
Data BEI mencatat, saham MTEL pada akhir pekan lalu ada di Rp 660/saham, naik 6,45% dalam sebulan terakhir dengan kapitalisasi pasar Rp 55,13 triliun. Menurut Macquarie, MTEL adalah satu-satunya emiten menara telko yang mencatatkan pertumbuhan tenant dua digit (+11% YoY), bertambah 3.700 tenant baru di 9 bulan per September 2023, mencapai 55.704 tenant.
“Dengan lebih dari 58% menara di wilayah eks-Jawa, kami menilai pertumbuhan tenant dua digit akan terus berlanjut hingga full year 2024-2025," tulis Macquarie.
Di sisi lain, Macquarie juga menilai MTEL memiliki neraca keuangan paling solid di sektor menara telko sehingga risiko refinancing-nya rendah dalam 12 bulan ke depan. Meskipin Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 6% pada 23 Oktober, menyebabkan pelemahan sektor ini. Tapi, MTEL menjadi yang paling lamban terdampak, karena MTEL memiliki eksposur paling rendah terhadap suku bunga.