Bos BEI Bantah Kecolongan Kasus Gratifikasi IPO
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik menegaskan bahwa pihaknya tidak kecolongan atas kasus yang menyeret lima karyawan yang diduga menerima gratifikasi terkait penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO).
Jeffrey mengaku bursa sudah melakukan tindakan tegas kepada karyawan yang menerima gratifikasi hingga penyimpangan lain. Menurutnya, pemecatan karyawan yang dilakukan bursa merupakan salah satu upaya bursa dalam memberantas aksi kecurangan.
"Yang menjadi kewenangan kami adalah memberikan sanksi kepada karyawan kami dan itu sudah kami lakukan, tidak ada kecolongan," kata Jeffrey kepada wartawan di Bursa Efek Indonesia, Senin (2/9).
Jeffrey juga memastikan IPO yang sudah berjalan sebelumnya tidak bermasalah. Sebab sebuah proses IPO emiten dilakukan dengan pengawasan yang ketat dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan turun tangan untuk melakukan penilaian kualitas calon emiten.
Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad sebelumnya membenarkan bahwa telah terjadi pelanggaran etika yang melibatkan oknum karyawan bursa. Oleh sebab itu, BEI telah melakukan tindakan disiplin sesuai dengan prosedur serta kebijakan yang berlaku.
“BEI berkomitmen memenuhi prinsip good corporate governance melalui penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) melalui implementasi ISO 37001:2016,” tulis Kautsar dalam keterangan resminya, Senin (26/8).
Sebelumnya berdasarkan surat yang beredar, sejumlah karyawan Divisi Penilaian Perusahaan BEI diduga meminta imbalan berupa uang untuk memfasilitasi pencatatan saham emiten di BEI.
Nilai gratifikasi tersebut dilaporkan mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per emiten, dan telah berlangsung selama beberapa tahun.
Praktik gratifikasi ini melibatkan beberapa emiten yang saat ini sahamnya telah tercatat di bursa. Selain itu, imbalan uang yang diterima oleh para oknum berkisar antara ratusan juta hingga satu miliar rupiah untuk setiap emiten.
Lebih jauh, dalam pemeriksaan ditemukan bahwa para oknum tersebut diduga membentuk perusahaan jasa penasihat secara terorganisir. Dari perusahaan ini, terakumulasi dana sekitar Rp 20 miliar.