Anjloknya Harga Minyak Berpotensi Turunkan Harga BBM dan Penerimaan Negara
Pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyaki mengatakan penurunan harga minyak acuan dunia seperti Brent dan West Texas Intermediate (WTI) berpotensi menurunkan harga BBM dan penerimaan Indonesia.
Harga minyak acuan Brent merosot 4,2% hingga jatuh mendekati US$ 60 per barel, sedangkan harga minyak West Texas Intermediate turun lima hari berturut-turut. Hal ini disebabkan oleh perang dagang yang semakin memanas menekan harga minyak acuan dunia ke level terendah dalam empat tahun terakhir.
“Penurunan harga minyak bisa berdampak baik bagi harga BBM tapi sekaligus menurunkan penerimaan negara,” kata Yayan saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (9/4).
Yayan mengatakan melalui penghitungan data harian seperti Dow Jones Industrial untuk mengukur pergerakan industri domestik Amerika Serikat (AS) dan harga minyak Brent dengan metode ekonometrik, menyebabkan perlambatan yang sangat signifikan sebesar minus 2.5%.
“Artinya akan ada negative impact terhadap penurunan harga minyak bisa mencapai US$ 50-60 di akhir 2025. Kemungkinan harga minyak akan turun secara drastis,” sebutnya.
Yayan mengatakan penurunan harga minyak dunia juga akan menurunkan harga komoditas lain seperti sawit hingga 20-30%. “Jadi selain dampak tersebut, reshaping international trade akan menurunkan konsumsi global. Bahkan, IHSG di Indonesia terkena dampak sekitar 5-10% karena hal ini,” ujarnya.
Senada dengan Yayan, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Moshe Rizal juga mengatakan bahwa penurunan harga minyak bisa berdampak positif dan negatif bagi Indonesia.
“Kita kan net importer BBM dan minyak mentah, itu dampaknya positif dari sisi impor yang harganya semakin murah. Tapi kita juga bergantung pada ekspor minyak dan gas sebagai sumber penerimaan negara,” kata Moshe kepada Katadata.co.id pada Rabu (9/4).
Dia menyebut turunnya harga minyak yang drastis ini juga berdampak pada ekspektasi masyarakat tentang penurunan harga BBM. Namun dia menyebut potensi ini masih harus diamati lebih jauh, apakah harga minyak masih konsisten menurun atau akan meningkat.
“Jatuhnya ini kan baru beberapa hari yang lalu. Jadi kita bisa lihat nanti beberapa minggu ke depan seperti apa. Apakah Pertamina akan menurunkan harga dan kita lihat kan juga apakah harga masih relatif turun,” ujarnya.
Jatuhnya harga minyak
Harga minyak telah jatuh hampir seperlimanya pada tahun ini. Agenda perdagangan agresif Presiden AS Donald Trump telah mengurangi minat pasar terhadap aset berisiko, salah satunya minyak.
Kerugian ini diperparah oleh keputusan organisasi negara pengekspor minyak bumi dan sekutunya atau OPEC+ untuk melonggarkan pembatasan pasokan lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Kedua hal ini telah memicu kekhawatiran bahwa pasokan minyak akan melebihi permintaan.
“Eskalasi tarif terus memperburuk prospek pertumbuhan global, meninggalkan risiko penurunan lebih lanjut terhadap permintaan minyak. Tanpa adanya tanda-tanda de-eskalasi, risiko tetap condong ke sisi negatifnya,” kata kepala strategi komoditas di ING Groep NV di Singapura, Warren Patterson dikutip dari Bloomberg pada Rabu (9/4).
Trump terus mendorong penerapan bea masuk yang lebih tinggi untuk 60 mitra dagang yang ia sebut sebagai pelanggar terburuk. Pungutan ini berlaku setelah tengah malam waktu New York. Dia juga menerapkan bea masuk sebesar 104% untuk banyak barang Cina setelah Beijing membalas AS dengan bea masuknya sendiri.
“Dengan asumsi Cina tidak mengumumkan putaran tarif balasan lainnya, maka Brent seharusnya dapat bertahan di atas US$ 60 per barel. Namun, jika kita melihat putaran pembalasan lainnya, maka penurunan lebih rendah hingga US$ 60 tampaknya mungkin terjadi,” kata kepala riset komoditas dan karbon di Westpac Banking Corp, Robert Rennie.
