Rencana Free Float 40% Dinilai Bikin Saham BUMN Makin Anjlok, Negara Ikut Rugi?
Wacana menaikkan batas porsi saham yang dimiliki publik atau free float menjadi 40% menuai komentar investor pasar modal Tanah Air. Pasalnya Otoritas Jasa keuangan (OJK) sudah membeli sinyal positif terhadap usulan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat ini.
Ide ini dinilai rawan bagi saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kepemilikan publik nya lebih besar dibandingkan saham emiten non BUMN. Padahal sebelumnya, OJK justru mempertimbangkan kenaikan free float menjadi minimal 10%.
Otoritas juga berencana mengubah ketentuannya dari semula berbasis ekuitas menjadi kapitalisasi. Dengan free float minimal 10% saja, setidaknya ada 190 perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan itu. Saat ini kewajiban free float minimum ditetapkan sebesar 7,5%.
Di pasar modal, free float dikenal sebagai saham yang dimiliki oleh publik atau masyarakat tidak termasuk saham yang dikuasai oleh pemegang saham pengendali, pemegang saham mayoritas, komisaris, direksi maupun karyawan perusahaan. Saham ini sepenuhnya berada di tangan investor publik dengan kepemilikan kurang dari 5% per individu.
Dampak terhadap Kerugian Negara
Pengamat Pasar modal Teguh Hidayat menilai, negara sudah dianggap tidak lagi mengalami kerugian jika saham-saham BUMN mengalami penurunan. Alasannya, saat ini seluruh BUMN berada di bawah Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Dannatara.
Dalam klausul yang diterbitkan ketika Danantara dibentuk, tersebut bahwa kerugian Danantara bukanlah kerugian negara. Pasal 3H ayat (2) UU BUMN berbunyi Keuntungan atau kerugian yang dialami Badan dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan atau kerugian Badan.
Kondisi ini berbeda dengan situasi beberapa tahun lalu sebelum BUMN berada dibawah Danantara. Saat itu investasi BUMN masih bisa memunculkan potensi kerugian negara. Dia memberikan contoh, kasus PT Asuransi Jiwasraya yang pernah membeli saham PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) dan mengalami kerugian ketika harga sahamnya turun, hal itu dapat dicap sebagai kerugian negara.
“Tapi sekarang undang-undangnya sudah diubah, jadi danantara boleh rugi, tapi itu tidak dianggap sebagai kerugian negara kalau harga saham BUMN turun,” kata Teguh kepada Katadata.co.id, Jumat (10/10).
Setelah Danantara dibentuk dengan perubahan pada UU BUMN, risiko tersebut kini dialihkan sepenuhnya kepada Danantara sebagai entitas pengelola investasi. Dengan demikian, meski harga saham BUMN turun dan menyebabkan kerugian di pihak Danantara, hal itu tidak serta-merta dikaitkan dengan tindak pidana korupsi.
Perubahan ini dinilai sebagai langkah cerdas dari para pendiri Danantara, seperti Dony Oskaria, Erick Thohir, Rosan Roeslani dan Pandu Sjahrir. Mereka memahami bahwa investasi di pasar modal selalu memiliki risiko fluktuasi, sehingga diperlukan payung hukum yang melindungi pengelola dari potensi tuduhan korupsi akibat kerugian pasar.
Dengan adanya ketentuan tersebut, pemerintah tidak lagi menanggung dampak langsung dari penurunan harga saham BUMN.
“Karena yang mendirikan danantara ini tahu persis risikonya besar kalau misalnya [saham] BUMN itu turun, Danantara-nya rugi. Tapi itu tidak [lagi] dianggap sebagai kerugian negara. Mereka aman-aman aja, meskipun Danantara-nya rugi,” ujarnya.
Di lain sisi, Teguh menilai, rencana menaikkan free float hingga 40% sulit direalisasikan karena investor tidak akan mampu menyerap saham sebanyak itu. Menurutnya, akar persoalan terletak pada lemahnya pengawasan otoritas, yang selama ini masih memberikan kelonggaran kepada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan free float minimum 7,5%.
“Bahkan ada perusahaan yang bisa IPO dengan free float hanya 4%. Padahal aturannya jelas. Kalau aturan tidak dipenuhi tapi perusahaan tetap bisa IPO, akhirnya sahamnya jadi gorengan. Nah, di situ justru OJK yang perlu dipertanyakan,” ujar Teguh.
Ia mengibaratkan fenomena tersebut seperti peredaran rokok ilegal. Jika ada rokok tanpa cukai bisa beredar, yang perlu ditanya bukan perusahaan rokoknya, tapi ke mana aparat hukumnya
Menurut Teguh, menaikkan free float menjadi 40% bukan solusi. Faktanya, masih banyak perusahaan yang bahkan belum mematuhi aturan lama.
“Yang 7,5% itu sudah cukup, asal dipatuhi. Tapi kenyataannya tidak, dan perusahaan yang melanggar malah bisa lolos IPO. Akhirnya muncul banyak teori konspirasi dan dugaan manipulasi harga saham,” ujarnya.
Ia menilai, yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat penegakan aturan dan pengawasan terhadap kepatuhan emiten. Teguh juga menyoroti kondisi pasar saat ini yang belum mendukung kebijakan tersebut. Investor asing masih mencatatkan aksi jual (net sell), sementara investor domestik belum memiliki kapasitas dana besar untuk menyerap saham hingga 40%.
“Siapa yang mau beli? Sekarang investor ritel kita justru lebih suka saham gorengan,” kata dia.
Menurutnya, jika free float dinaikkan hingga 40%, kepemilikan publik akan terlalu besar, sehingga saham sulit digerakkan oleh pemegang kendali. Ia menambahkan, upaya menaikkan free float ibarat mencoba menyembuhkan pasar yang sudah kecanduan saham gorengan.
“Pasar kita sudah rusak. Ibarat orang yang kecanduan narkoba, ketika obatnya diambil, dia malah sakau. Bisa mati orangnya,” tutup Teguh.
Tidak Realistis
Senada dengan Teguh, Ekonom universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menganggap wacana kenaikan free float menjadi 40% seperti yang diminta DPR tidak realistis. Menurutnya, untuk menaikkan persentase free float, otoritas perlu melakukannya secara bertahap.
“Free float 40% tidak realistis, apalagi saat ini hanya 7,5%. Perlu jadwal kenaikan yang lebih gradual dengan target akhir 15-20%, seperti Malaysia dan Thailand,” kata Samirin.
Ketika ditanya mengenai saham BUMN yang rawan turun dan berimbas ke kerugian negara, Samirin menjawab hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, naik-turunnya saham wajar terjadi.
“Asal bukan disebabkan oleh hal fundamental yaitu kinerja operasional perusahaan,” katanya.
Sementara itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) membeberkan kajian hingga rencana skema kenaikan batas saham publik atau free float minimal 10% dan maksimal 20%.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan free float dan tidak hanya berfokus di aspek persyaratan minimum. BEI juga memperbanyak jumlah IPO skala besar yang akan mendukung secara langsung nilai total kapitalisasi free float di BEI.
Dari sisi regulasi, BEI tengah mengkaji penyesuaian regulasi pencatatan saham termasuk mengenai free float dengan tetap memperhatikan kondisi dari sisi perusahaan tercatat serta kemampuan dari sisi investor
