Bukukan Kinerja Positif, LPS Siap Tangani Bank Bermasalah
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berhasil mengumpulkan pendapatan premi sebesar Rp 11,9 triliun hingga Oktober 2019, dengan bank umum masih menjadi kontributor terbesar. Per 31 Oktober 2019, kontribusi bank umum terhadap pendapatan premi LPS tercatat sebesar Rp 11,6 triliun, sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) hanya sebesar Rp 220 miliar.
Direktur Eksekutif Keuangan LPS Ferdinan D. Purba menjelaskan, meski pendapatan premi mengalami kenaikan, namun pertumbuhan tahun ini lebih lamban dibandingkan tahun 2018. Pertumbuhan pendapatan premi dari bank umum tercatat tumbuh 6,6%, padahal tahun lalu pendapatan premi dari bank umum mampu tumbuh 7,3%. Sementara, pertumbuhan pendapatan premi dari BPR hanya tumbuh 8,3%, padahal tahun lalu pertumbuhannya mencapai 13%.
Dari segi kepesertaan, bank yang masuk dalam program penjaminan LPS sejak 2014 hingga Oktober 2019 mengalami penurunan. Jumlah bank umum yang menjadi peserta penjaminan LPS per 31 Oktober 2019 tercatat turun menjadi 111, sementara BPR sebanyak 1.717.
(Baca: Jumlah Simpanan di Bank Tumbuh 6,32 persen)
Penurunan ini selain disebabkan adanya likuidasi, namun juga terjadi karena adanya merger dan akuisisi sejumlah bank sepanjang 2019. Untuk bank umum penurunan kepesertaan utamanya disebabkan adanya merger, sementara BPR selain adanya merger, adanya likuidasi sebanyak sembilan bank turut berpengaruh pada penurunan jumlah kepsertaan BPR pada program penjaminan LPS.
Selain pendapatan premi yang tumbuh, LPS juga mencatatkan pertumbuhan total aset sebesar 16,21% per 31 Oktober 2019 menjadi Rp 119,4 triliun. Dari total aset ini, sebanyak 94,39% ditempatkan dalam instrumen investasi, dengan fokus pada Surat Berharga Negara (SBN), baik konvensional maupun syariah.
Sementara, aset berupa kas dan piutang tercatat sebesar Rp 5,9 triliun atau 4,93% dari total aset. Piutang ini menurut Ferdinan merupakan piutang kepada pemerintah berupa kupon SBN yang belum jatuh tempo. Sisanya, Rp 700 miliar berupa aset lainnya dan Rp 100 miliar berwujud aset tetap. Dari sisi cadangan penjaminan, posisi per Oktober 2019 mencapai 1,54% dari total Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sebesar Rp 6.113 triliun. Artinya, cadangan penjaminan LPS per Oktober 2019 mencapai Rp 91,7 triliun.
(Baca: LPS Turunkan Bunga Penjaminan Simpanan 0,25%)
Penanganan Bank Bermasalah
Jika dirunut sejak operasionalnya, tahun 2005 silam, LPS telah melakukan penyelesaian bank gagal dengan melikuidasi 101 bank, yang terdiri dari 100 BPR dan satu bank umum. Rinciannya, total simpanan yang ditangani mencapai sekitar Rp 1,91 triliun dari 254.924 rekening, yang terdiri dari bank umum sebesar Rp 357 miliar dan BPR sebesar Rp 1,55 triliun. Dari total tersebut, sebanyak Rp 363 miliar dinyatakan tidak layak bayar, yang terdiri dari bank umum sebanyak Rp 171 miliar dan BPR sebanyak Rp 192 miliar.
(Baca: 100 Bank Ditutup, LPS Bayar Klaim Simpanan Rp 1,5 Triliun Sejak 2005)
Untuk penanganan bank bermasalah, LPS telah memiliki sejumlah metode selain dua metode yang sebelumnya umum digunakan, yakni likuidasi dan bail out. Metode lain yang masuk dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) adalah, purchase & assumption, pembentukan bridge bank dan penanaman modal sementara.
"Metode baru yang masuk dalam UU PPKSK muncul karena belajar dari kejadian di masa lampau, penyelamatan bank bermasalah ternyata menyedot energi dan biaya yang sangat besar. Kalau opsi hanya dua, likuidasi dan bailout, biayanya sangat besar dan dalam satu kasus akhirnya menimbulkan biaya politik yang besar juga," ujar Ketua Komisioner LPS Halim Alamsyah, Sabtu (21/12).
Terkait dengan masalah yang dihadapi sejumlah bank saat ini, baik yang memiliki tingkat capital adequacy ratio (CAR) di bawah ketentuan, maupun yang mengalami permasalahan terkait kenaikan non performing finance (NPF), LPS menurut Halim tidak bisa berkomentar lebih lanjut, karena saat ini seluruhnya masih dalam ranah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meski demikian, LPS juga tidak bertindak pasif, karena pembicaraan dengan sejumlah bank yang mengalami permasalahan telah dilakukan.
"Kami tetap berkomunikasi, mengundang bank-bank yang tengah bermasalah, terkait CAR dan kinerja yang menurun untuk membicarkan perihal masalah yang mereka hadapi, serta upaya-upaya yang diambil untuk memperbaiki kinerja," ungkap Anggota Dewan Komisioner LPS Didik Madiyono.
(Baca: LPS Belum Dilibatkan dalam Penyelamatan Bank Muamalat)
Yang jelas, Halim mengatakan LPS siap apabila OJK melimpahkan bank yang sudah ditetapkan sebagai bank gagal, dengan menggunakan salah satu dari tiga metode yang sudah tertera dalam UU PPKSK. Terutama implementasi purchase & assumption yang merupakan metode resolusi penanganan bank gagal dimana pembeli membeli sebagian atau seluruh aset bank gagal, serta mengambilalih sebagian atau seluruh kewajiban bank.
Serta metode bridge bank, di mana LPS mendirikan bank baru guna menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani untuk selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
"Kami tentu tidak berharap ada bank yang diserahkan ke LPS oleh OJK, namun jika kami dihadapkan oleh situasi tersebut, kami sudah siapkan opsi-opsi. Agar selalu siap, kami selalu melakukan simulasi dengan berlandaskan kondisi mulai dari ideal sampai kondisi tidak ideal, istilahnya resolution under uncertainty and incomplete information," kata Halim.