Erick Thohir Akan Ubah ‘Superholding’ BUMN Rancangan Rini Soemarno
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana mengubah konsep pembentukan super holding yang digagas pendahulunya, Rini Soemarno. Erick memilih menerapkan konsep sub-holding yang kategorisasinya berdasarkan bisnis model.
"Bisnis model harus diperbaiki supaya bisa fokus,” kata Erick ketika Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (2/12). Ia ingin konsepnya menjadi sub-holding sehingga perusahaan pelat merah bisa berfokus pada kegiatan unit usaha.
Ia pun telah mengkaji bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan anak usahanya PT Gapura Angkasa, yang bergerak di bidang usaha jasa ground handling dan penunjang usaha penerbangan di bandara. Menurutnya, Gapura tidak perlu ada di bawah Garuda.
Erick mengatakan, Gapura seharusnya di bawah PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II yang memang berfokus pada pengelolaan bandara. Apalagi, Gapura memang perusahaan patungan antara Garuda, AP I, dan AP II yang berdiri pada 1998.
Per 21 November 2019, AP II memiliki mayoritas saham Gapura yakni 46,26%. Sedangkan Garuda 45,26% dan AP I 7,76%. "Lebih baik, (Gapura) ada di AP yang memang manage hal itu. Kenapa harus ada over lapping yang membuat kegiatan kontra produktif," kata dia.
(Baca: Serah Terima Jabatan, Rini Soemarno Beberkan PR BUMN ke Erick Thohir)
Kementerian BUMN juga mengkaji pembentukan holding pelabuhan. Holding ini melibatkan empat perusahaan pelat merah yaitu PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III, dan IV. Menurut Erick, masing-masing perusahaan semestinya berfokus pada lini bisnis, bukan pembagian wilayah.
Seperti diketahui, Pelindo beroperasi berdasarkan wilayah. Pelindo I beroperasi di Aceh, Sumatra Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Pelindo II di Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat.
Kemudian, Pelindo III menangani Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Lalu, Pelindo IV untuk Sulawesi, Papua, Kalimantan Timur, Maluku, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Maluku Utara.
Nantinya masing-masing Pelindo dibagi menjadi berdasarkan lini bisnis yakni urusan pelabuhan peti kemas, pelabuhan curah cair, dan lainnya. "Tidak berdasarkan sub-regional-nya yang akhirnya menjadi kanibal-kanibal yang tidak pasti di antara mereka," kata Erick.
(Baca: Empat Tahun Absen, Menteri BUMN Akhirnya Hadiri Rapat di Gedung DPR)
Contoh lainnya, perusahaan pembiayaan khusus (leasing) kapal, PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (Persero) alias PANN. Pemerintah meminta PANN membiayai pembelian pesawat oleh Merpati dan Bouraq. Padahal kedua maskapai ini sudah tidak beroperasi.
Perusahaan yang berdiri pada 1994 ini pun mengalami tekanan likuditas dan utang yang membengkak. "Bagaimana perusahaan leasing kapal bisa hidup kalau sejarahnya ada leasing pesawat terbang? Apalagi tiba-tiba ada bisnis hotel," kata Erick.
Menurutnya, PANN tidak akan bisa bertahan kalau tidak menggandeng perusahaan yang menggunakan kapal sebagai operasionalnya. Karena itu, Erick berencana mengawinkan PANN dengan perusahaan seperti PT Pertamina (Persero) atau PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN.
(Baca: Satu Bulan Menteri BUMN, Erick Merangkul Ahok hingga Depak 6 Eselon I)