Trump Tuding Tiongkok Manipulasi Mata Uang
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuding Tiongkok melakukan manipulasi mata uang, meningkatkan ketegangan perang dagang antara kedua negara.
Tudingan manipulasi mata uang datang lantaran Negeri Tirai Bambu ini dinilai sengaja membiarkan mata uangnya, yuan jatuh hingga ke level terendah dalam lebih dari satu dekade terakhir.
"Tiongkok menjatuhkan harga mata uang mereka ke level terendah dalam sejarahnya. Ini disebut "manipulasi mata uang." Apakah Anda mendengar Federal Reserve (bank sentral AS)? Ini adalah pelanggaran besar yang akan sangat melemahkan Tiongkok dari waktu ke waktu," ujar Trump dalam akun Twitter-nya, Senin (5/8).
(Baca: Rupiah Tembus 14.300/US$ Akibat Pelemahan Yuan dan Ekonomi RI Melambat)
Trump juga menuding manipulasi mata uang tersebut dilakukan Tiongkok untuk mencuri bisnis AS, mengganggu terciptanya lapangan kerja di negara tersebut, hingga menekan upah pekerja dan mengganggu pendapatan petani AS.
"Tiongkok bertekad untuk mengambil ratusan miliar dolar dari AS dengan praktik perdagangan yang tidak adil dan manipulasi mata uang. Ini hanya menguntungkan satu pihak dan seharusnya dihentikan bertahun-tahun lalu," tegas dia.
Dikutip dari Reuters, Departemen Keuangan AS mengumumkan pada Senin malam (5/8) waktu setempat menyatakan bahwa Tiongkok telah melakukan manipulasi mata uang. Pernyataan ini dibuat untuk pertama kalinya sejak 1994.
(Baca: Bursa Saham Asia Terpukul, IHSG Sempat Anjlok Lebih dari 2%)
"Sebagai hasil dari keputusan ini, Menteri Keuangan AS akan bekerja sama dengan IMF untuk menghilangkan ketidakadilan yang diciptakan oleh tindakan baru Tiongkok," kata dia
IMF belum memberikan komentar terkait hal tersebut. Bulan lalu, pemberi pinjaman global ini mengatakan yuan Tiongkok masih sejalan dengan fundamentalnya, sementara dolar AS dinilai terlalu tinggi antara 6% hingga 12%.
Pernyataan AS dirilis setelah Tiongkok membiarkan mata uangnya melemah 1,4% ke level 7 per dolar untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade. Beijing juga menghentikan pembelian pertanian AS, memicu perang perdagangan yang telah mengguncang pasar keuangan, mengganggu rantai pasokan dan memperlambat pertumbuhan global.