Komite Stabilitas Sistem Keuangan Akan Kendalikan Perang Bunga Bank
Likuiditas perbankan mengalami pengetatan seiring pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana nasabah atau dana pihak ketiga (DPK). Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Destry Damayanti menjelaskan perang bunga deposito pun terjadi antara bank menengah-besar dengan bank kecil. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan turun tangan.
Bunga deposito di bank menengah-besar atau bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan IV sudah lebih tinggi dibandingkan bank kecil atau BUKU I dan II. “(Suku bunga deposito) bank BUKU III dan IV sekarang ini liar karena membutuhkan dana untuk pendanaan infrastruktur,” kata dia dalam acara Katadata Forum “Winning in a Turbulent Economy” di DJakarta Theater XXI, Jakarta, Rabu (28/11).
Tingginya bunga deposito di bank menengah-besar dikhawatirkan bakal memicu flight to quality alias perpindahan dana ke bank besar. Namun, Destry menjelaskan, masalah likuiditas perbankan yang memicu perang bunga deposito ini telah rutin dibahas dalam rapat KSSK. Intinya, “Perang bunga dana akan dikendalikan,” ujarnya.
(Baca juga: Perilaku Milenial Ditengarai Sumbang Perlambatan Dana Simpanan Bank)
Adapun kondisi likuiditas ketat saat ini tercermin dari rasio kredit terhadap dana nasabah atau loan to deposit ratio (LDR) yang tinggi yaitu mencapai 94%. Rasio yang semakin mendekati 100% ini perlu diwaspadai. “Pengalaman di krisis 98 kalau sudah mendekati 100% kita hadapi masalah besar,” ucapnya.
Seperti disinggung di awal, pengetatan likuiditas terjadi imbas pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana nasabah. Menurut dia, pertumbuhan dana nasabah hanya 6% secara tahunan, sedangkan kredit per Oktober diperkirakan naik 14% secara tahunan.
Bila dibedah, penyaluran kredit di bank kecil untuk segmen konsumer, sedangkan bank menengah-besar banyak untuk infrastruktur.
Selain karena pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan dana nasabah, Destry menjelaskan, pengetatan likuiditas perbankan juga disebabkan oleh langkah pemerintah yang agresif menerbitkan obligasi retail dengan imbal hasil (yield) yang menarik.
(Baca juga: Ancaman Kekeringan Likuiditas Mengintai Perbankan)
Dalam pidato pada Pertemuan Tahunan BI, Selasa (27/11), Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan bakal menjaga kecukupan likuiditas perbankan. “Kecukupan likuiditas di perbankan dan pasar uang akan kami jaga,” ujarnya.
Adapun baru-baru ini, BI mempelonggar kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM). GWM adalah dana atau simpanan yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro di BI.Tujuan kebijakan ini adalah untuk meningkatkan fleksibilitas bank dalam mengelola likuiditas.
(Baca juga: BI Longgarkan Aturan GWM di Tengah Lambatnya Pertumbuhan Dana Nasabah)
Pelonggaran dilakukan dengan menaikkan porsi GWM rata-rata (averaging) baik pada bank umum konvensional maupun syariah dari 2% menjadi 3%.
Dengan demikian, bank konvensonal yang memiliki kewajiban GWM rupiah sebesar 6,5% dari DPK, hanya wajib memelihara sebesar 3,5% dari total DPK rupiah setiap harinya, sedangkan 3%-nya rata-rata dua minggu.
Sementara itu, bank syariah yang memiliki kewajiban GWM rupiah sebesar 5% dari DPK rupiah, hanya wajib memelihara 2% dari total DPK rupiah setiap harinya, sedangkan 3%-nya rata-rata dua minggu.
Selain itu, BI melonggarkan ketentuan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bank umum konvensional dan syariah yang dapat direpokan ke BI dari 2% menjadi 4% dari DPK. PLM adalah penyempurnaan dari ketentuan GWM sekunder yang dipenuhi lewat penempatan dana pada surat berharga rupiah yang bisa digunakan dalam operasi moneter.
Besaran PLM ditetapkan sebesar 4% dari DPK. Dengan adanya pelonggaran ketentuan, maka seluruh surat berharga bisa direpokan ke BI.