Uang Muka Kredit Turun, BI: Tak Optimal Tanpa Peran Pemerintah
Bank Indonesia (BI) akan kembali melonggarkan rasio kredit terhadap nilai agunan (loan to value/LTV) sehingga dapat menurunkan uang muka kredit, khususnya kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Namun, langkah itu masih belum optimal memacu penyaluran kredit tanpa kebijakan tambahan dari pemerintah.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati mengatakan, hasil kajian menunjukan dampak pelonggaran LTV pada tahun lalu hanya mampu menahan perlambatan penyaluran kredit alias belum mampu mendongkrak pertumbuhan kredit. Sebab, kebanyakan masyarakat saat ini belum berminat belanja barang-barang kebutuhan sekunder maupun tersier, seperti rumah maupun kendaraan bermotor.
Padahal, pertumbuhan pembangunan dan permintaan kredit properti merupakan salah satu faktor yang berdampak signifikan untuk memacu pertumbuhan ekonomi. “Kami lihat prospek pertumbuhan ekonomi ke depan, kami kaji (lagi) pilihan kebijakan mana yang baik untuk mendorong sektor properti,” kata Yati di Gedung BI, Jakarta, Jumat (27/5).
(Baca: Bunga Acuan Baru Efektif, BI Siap Longgarkan Kebijakan Moneter)
Karena itulah, BI menilai langkah pelonggaran LTV saja tidak cukup dan harus ditopang oleh kebijakan pemerintah. “Kalau saja kami punya kebijakan sektor perumahan yang komprehensif akan lebih optimal, jadi bukan hanya dari sisi perbankan,” katanya.
Bentuk kebijakan yang bisa diberikan pemerintah adalah meningkatkan perlindungan konsumen atau insentif perpajakan. Dengan begitu, kebijakan BI yang didukung oleh pemerintah tersebut dapat efektif untuk memacu penyaluran kredit dan ujung-ujungnya mengerek pertumbuhan ekonomi.
Menurut Yati, saat ini BI memang tengah menggodok dua kebijakan baru untuk mendorong penyaluran kredit. Pertama, melonggarkan kembali LTV dan Loan to Funding Ratio (LFR). Kedua, pelonggaran rasio kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
(Baca: Permintaan Lemah, BI Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi)
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, pelonggaran LTV ini terkait dengan kebijakan BI memperkenankan rumah kedua dan seterusnya menggunakan sistem indent atau pemesanan lebih dulu, serta uang muka lebih murah. Kebijakan yang bakal dirilis dalam tahun ini tersebut diharapkan bisa mendorong permintaan kredit properti.
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Asmawi Syam merespons positif rencana BI melonggarkan LTV tersebut. Kebijakan itu dinilai mampu meningkatkan kemampuan masyarakat mengajukan KPR. Dengan permintaan yang meningkat, perbankan tinggal mengkaji langkah atau strategi meminimalisir risiko gagal bayar atau kenaikan kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL).
Di sisi lain, BI tengah mengkaji kebijakan untuk melonggarkan likuiditas sehingga perbankan bisa lebih leluasa menyalurkan kreditnya. Salah satunya adalah merevisi Peraturan BI (PBI) Nomor 15 Tahun 2013 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Beleid itu mengatur, selain harus memenuhi komitmen modal minimum sesuai profil risiko, bank wajib memenuhi tambahan modal.
Bentuk tambahan modal tersebut yakni capital conservation buffer, countercyclical buffer, dan capital surcharge bagi bank berdampak sistemik. Capital conservation buffer merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga jika terjadi kerugian pada periode krisis terhadap kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III dan IV.
(Baca: Perbankan Optimistis Bunga Acuan Baru Bisa Memacu Kredit)
Sedangkan countercyclical buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga untuk mengantisipasi kerugian, jika terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangn. Penentuan besarannya akan ditentukan oleh BI tergantung pada perkembangan pertumbuhan kredit bank.
Kalau siklus kredit menurun, maka modal penyangga itu yang akan digunakan untuk menaikan kredit. “Ketika sudah ada tanda-tanda penurunan (kredit), buffer rate-nya kami turunkan menjadi nol sejak Desember tahun lalu,” kata Yati. Kini, setelah enam bulan berlalu, kajian BI menunjukkan perlambatan penyaluran kredit masih terjadi sehingga tingkat modal penyangga nol persen tetap dipertahankan.