DBS Bank: Perlu Pendekatan Progresif untuk Capai Ekonomi Berkelanjutan
Pembangunan yang mengarah pada ekonomi berkelanjutan (sustainability) dipandang menjadi arah baru ekosistem bisnis di dalam suatu negara, namun masih diperlukan banyak upaya untuk mendorong hal ini di negara-negara berkembang. Sebab kebijakan sustainability yang dikeluarkan harus dipastikan juga mampu mendorong perekonomian.
Chief Sustainability Officer BDS Bank Mikkel Larsen mengatakan dewasa ini dunia usaha memang diharapkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, terutama terkait dengan sosial dan ekonomi. Namun, untuk mencapai hal itu dibutuhkan inisiatif dari pemerintah mengambil langkah progresif untuk menciptakan insentif yang mampu menarik minat pelaku usaha.
"Pendekatan lunak yang mungkin bisa ditempuh adalah dengan pelaporan atau reporting, karena ternyata cara ini cukup efektif. Pemerintah tidak memerlukan banyak biaya untuk melakukannya, bisa dilakukan oleh mesin dan mampu menarik perhatian investor," kata Mikkel dalam webinar SAFE Forum 2020: Restart and Rebuild After Crisis, yang diselenggarakan Katadata.co.id, Rabu (26/8).
Untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mekanisme yang lebih menantang menurut Mikkel adalah penerapan pajak karbon. Indonesia misalnya, memiliki aturan yang cukup rumit mengenai pajak karbon dan di sisi lain memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA). Menurutnya ini pembebanan pajak karbon harus memperlihatkan hasil adanya pembangunan ekonomi.
Pendekatan progresif lain yang diusulkan oleh Mikkel adalah pembatasan penggunaan sumber-sumber energi yang tidak berkelanjutan di pusat-pusat kota. Memang, pendekatan ini tergolong dramatis dan harus ditelaah terlebih dahulu apa dampaknya bagi perekonomian. Ia mencontohkan kejadian di Perancis, di mana pemerintah memberlakukan kebijakan yang membuat harga bensin terlampau tinggi yang ternyata menimbulkan dampak negatif.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah yang mampu menciptakan insentif dengan menggunakan sandbox misalnya, seperti yang dilakukan oleh Singapura. Penggunaannya dapat memberi ruang untuk berinovasi yang pada akhirnya bisa berdampak positif terhadap upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
"Kebijakan sandbox ini bila diikuti dengan insentif untuk penelitian dan pengembangan, maka bisa mendorong pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan operasional yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan," ujarnya.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah menelurkan kebijakan insentif untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019. Melalui aturan tersebut, perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia akan mendapatkan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300%.
Perhitungannya dilakukan berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
“Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud, merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia untuk menghasilkan invensi, inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional,” bunyi Pasal 29C ayat (2) PP ini.
Meski begitu, aturan tersebut memerlukan ketentuan teknis yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan aturan lanjutan.
Sebelumnya, Menteri Riset Teknologi (Menristek) Bambang Brodjonegoro meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani mempercepat penyelesaian aturan teknis super deduction tax untuk penelitian dan pengembangan. Permintaan tersebut ia utarakan, karena hingga saat ini kegiatan penelitian dan pengembangan swasta belum mendapatkan insentif pajak dari pemerintah.