Nasabah Jiwasraya Desak Pemerintah Terbuka soal Restrukturisasi
Pemegang polis produk investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) hingga kini belum menerima tawaran program restrukturisasi yang dijanjikan dimulai sejak awal Agustus 2020. Salah satu pemegang polis saving plan, Machril, meminta pemerintah terutama Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selaku pemegang saham Jiwasraya untuk terbuka soal kelanjutan program restrukturisasi tersebut.
Ia menduga pemerintah belum mengumumkan skema restrukturisasi untuk pemegang polis JS Saving Plan dan tradisional karena belum memiliki kepastian mengenai sumber pendanaannya. "Pemerintah harus cari cara supaya haircut itu tidak terjadi. Apakah kemungkinan penyertaan modal negara (PMN) bisa menutupi itu?" kata Machril kepada Katadata.co.id, Senin (31/8).
Pemerintah telah menganggarkan suntikan modal Rp 20 triliun untuk PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) tahun depan sebagai salah satu upaya menyelesaikan tunggakan polis Jiwasraya.
PMN diberikan kepada BPUI agar neraca keuangannya seimbang setelah nasabah Jiwasraya pindah. Sebagai gambaran, per Mei 2020 saja, ekuitas Jiwasraya minus Rp 35,9 triliun. Ekuitas itu berasal dari liabilitas senilai Rp 52,9 triliun, sementara asetnya hanya senilai Rp 17 triliun.
Selisih antara ekuitas Jiwasraya saat ini dengan hasil restrukturisasi tersebut, akan ditutupi oleh PMN. Harapannya, nanti antara liabilitas dengan aset menjadi seimbang. Semakin rendah kekurangan pembayaran polis, semakin rendah juga PMN yang dibutuhkan.
Namun dengan asumsi ekuitas per Mei 2020, Machril menilai tambahan PMN sebenarnya masih belum cukup untuk menyeimbangkan keuangan BPUI. "Dana Rp 20 triliun itu belum tentu masuk ke Jiwasraya. PMN itu pun belum jelas apakah akan diberikan kepada Jiwasraya oleh BPUI. Ini harus transparan," katanya.
Sekretaris Perusahaan Jiwasraya Kompyang Wibisana mengatakan bahwa program restrukturisasi untuk pemegang polis JS Saving Plan dan tradisional memang belum ditawarkan karena masih perlu menunggu keputusan rapat. Namun, Ia belum bisa memastikan kapan bisa menawarkan restrukturisasi tersebut.
"Kami menunggu hasil rapat antara Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan panitia kerja DPR," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (1/9).
Namun, Ia mengatakan bahwa Jiwasraya sudah menawarkan restrukturisasi kepada nasabah korporasi. Asuransi pelat merah ini baru melakukan restrukturisasi pada nasabah korporasi, di mana sudah ada 40 perusahaan yang setuju mengambil opsi tersebut.
Sementara itu, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo belum merespons terkait target waktu penawaran restrukturisasi kepada pemegang polis JS Saving Plan dan tradisional.
Sebelumnya Kementerian BUMN selaku pengelola Jiwasraya telah menyatakan komitmennya menyelesaikan masalah Jiwasraya, yang mulai gagal bayar sejak 2018. Fokus dari restrukturisasi adalah pengurangan nilai pokok dan penurunan bunga dari sekitar 12-14% menjadi kisaran 6-7%.
Mayoritas atau 92% tekanan likuiditas yang terjadi pada Jiwasraya memang disebabkan oleh produk JS Saving Plan. Per 31 Mei 2020 utang klaim dari produk JS Saving Plan mencapai Rp 16,5 triliun yang berasal dari 17.452 peserta.
Sementara utang klaim dari nasabah tradisional korporasi tercatat sebesar Rp 600 miliar yang berasal dari 22.735 peserta. Selain itu ada utang klaim dari nasabah tradisional retail, dengan total mencapai Rp 900 miliar dari 12.410 peserta.
Usai restrukturisasi Jiwasraya, pemegang polis akan dipindahkan ke perusahaan baru, bernama Nusantara Life, yang berada di bawah holding BUMN Asuransi, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).
Masalah yang membelit perusahaan asuransi pelat merah ini membuat kinerja semakin menurun. Penurunan kinerja dipengaruhi berbagai faktor, seperti kesalahan pembentukan harga produk, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, rekayasa harga saham dan tekanan likuiditas dari produk JS Saving Plan.
Alhasil ekuitas Jiwasraya turun hingga negatif Rp 23,92 triliun sepanjang Januari-September 2019. Perusahaan juga mengungkapkan adanya potensi penurunan nilai aset sebesar Rp 6,21 triliun, sehingga total ekuitasnya bisa mencapai minus Rp 30,13 triliun.
Tambahan dana sebesar Rp 32,89 triliun pun dibutuhkan untuk menutupi nilai ekuitas yang negatif dan memenuhi ketentuan permodalan asuransi atau risk based capital (RBC) yang telah ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).