Jiwasraya Hadapi 19 Perkara Gugatan Nasabah soal Restrukturisasi
Tenggat persetujuan program restrukturisasi polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) jatuh pada Senin (31/5) hari ini. Namun perusahaan masih harus menghadapi 19 perkara gugatan yang dilayangkan oleh nasabah, baik retail maupun korporasi.
Gugatan hukum datang dari nasabah retail secara perseorangan, salah satunya pengacara ternama O.C Kaligis. Ada pula beberapa kelompok nasabah, termasuk gugatan perwakilan kelompok atau class action dari 195 Warga Negara Korea Selatan. Selain itu, ada nasabah korporasi yang menggugat pembatalan program restrukturisasi polis asuransi tersebut.
Dalam daftar gugatan, nasabah turut menggugat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan beberapa perbankan penerbit polis. Beberapa di antaranya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Bank KEB Hana Indonesia, dan PT Bank DBS Indonesia,
Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), gugatan tersebar di tujuh pengadilan. Sebanyak satu perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, 11 perkara di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, dan satu perkara di PN Jakarta Selatan. Selain itu, terdapat pula dua perkara di PN Surabaya, serta masing-masing satu perkara di PN Bandung, PN Semarang, PN Jambi, dan PN Medan.
Gugatan terdiri dari empat jenis perkara, yakni Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Wanprestasi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan gugatan pembatalan program restrukturisasi polis asuransi.
Berdasarkan jenis gugatan, sebanyak delapan gugatan Wanprestasi, dan tujuh gugatan PMH, termasuk satu di antaranya gugatan perwakilan kelompok atau class action dari 195 Warga Negara Korea Selatan. Sisanya, tiga gugatan PKPU, dan satu gugatan pembatalan program restrukturisasi polis asuransi.
Sampai laporan ini diterbitkan 31 Mei 2021, beberapa penggugat telah memperoleh keputusan dari pengadilan dan memenangkan gugatan. Sebagian perkara lain masih dalam proses persidangan.
Analis Senior bidang Perasuransian Irvan Rahadjo mengatakan gugatan hukum yang diajukan ke pengadilan menjadi solusi bagi nasabah yang tak sepakat dengan program restrukturisasi polis Jiwasraya.
“Sekarang tinggal berjalan di ranah pengadilan. Ada yang menggugat untuk membatalkan program restrukturisasi. Kalau kasus ini menang di pengadilan, maka restrukturisasi bisa saja batal,” ujar Irvan kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, Jiwasraya memiliki tiga masalah fundamental.
Pertama, masalah solvabilitas dan likuiditas yang sudah terjadi sejak lama dan tidak diselesaikan dengan solusi yang dapat memperbaiki fundamental perusahaan.
Untuk menyelesaikan masalah solvabilitas secara sementara, dilakukan window dressing laporan keuangan dengan kebijakan reassuransi dan revaluasi aset sejak 2008-2017. Untuk menyelesaikan masalah likuiditas, manajemen melakukan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi.
Kedua, Jiwasraya memiliki tata kelola perusahaan yang lemah dengan aktivitas investasi berisiko. Tidak ada panduan yang mengatur investasi maksimum pada aset berisiko tinggi (high risk asset), sehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan.
Ketiga, tekanan likuiditas dari produk saving plan. Penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk saving plan menyebabkan naiknya pencairan dan penurunan penjualan. Tidak ada aset cadangan (backup asset) yang cukup untuk memenuhi kewajiban dengan rasio kecukupan dan investasi hanya 28% pada 2017 dan menyebabkan gagal bayar. Hal ini disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, klaim yang meningkat signifikan ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal itu menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya.
Ketiga masalah fundamental itu menyebabkan tekanan likuiditas. Mayoritas aset investasi yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan tidak liquid. Penjualan produk Saving Plan harus diberhentikan karena sudah gagal bayar. Pendapatan investasi menurun, nilai klaim dan manfaat meningkat sejak 2017.
Pada akhirnya, solvabilitas juga melemah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai aset yang tidak sesuai dengan nilai pasar, ekuitas menjadi negatif Rp 38,6 triliun dan rasio solvabilitas atau risk based capital (RBC) minus hingga 1.003% per Desember 2020. Padahal batas minimal OJK adalah 120%.
Perusahaan membutuhkan tambahan aset tambahan untuk mencapai RBC minimal yang disarankan oleh regulator. Tekanan likuiditas dan solvabilitas tercermin pada kondisi keuangan Jiwasraya pada 2020. Total liabilitas mencapai Rp 54,5 triliun dengan kecederungan meningkat terus, nilai aset hanya sebesar Rp 15,7 triliun dengan mayoritas aset tidak liquid dan berkualitas buruk.
Alhasil, terdapat pembayaran tertunda (delay payment) sebesar Rp 20 triliun. kondisi aset yang berkuaitas buruk dan pengeluaran produk yang tidak optimal membuat Jiwasraya memiliki defisit likuiditas sebesar Rp 38,6 triliun.
Tiga Opsi Solusi Kemelut Jiwasraya
Dengan kondisi ini, pemerintah menyusun berbagai tiga opsi terhadap usulan penyelesaian asuransi Jiwasraya. Pertama, opsi penalangan atau bail out. Dukungan dana dari pemerintah apabila masalah Jiwasraya dianggap memiliki dampak sistemik terhadap industri. Namun, opsi ini tidak dapat dilakukan karena belum ada peraturan, baik dari OJK, maupun KSSK terkait industri asuransi.
Opsi kedua, restrukturisasi, transfer, dan bail in. Ini merupakan dukungan dana dari pemegang saham Jiwasraya yang pelaksanaannya dilakukan secara tidak langsung. Pertimbangannya, restrukturisasi dilakukan dengan baik untuk memastikan portofolio polis yang ditransfer dapat menciptakan keuntungan untuk perusahaan baru. Pemilik perusahaan harus memiliki kapasitas untuk memastikan operasional perusahaan.
Opsi ketiga, likuidasi, yakni pembubaran perusahaan. Hal ini harus dilakukan melalui OJK berdasarkan UU 40/2014 tentang perasuransian. Namun, opsi ini memiliki dampak ekonomi, sosial, dan politik yang cukup signifikan yang akan mendapat haknya.
"Opsi restrukturisasi dianggap paling optimal untuk menyelamatkan pemegang polis dengan pertimbangan aspek hukum, sosial, dan politik," ujar Kartiko.