DJP Gandeng Otoritas Pajak di 13 Negara Kejar Pengemplang
Pemerintah mengatakan siap menagih para pengemplang pajak yang berada di luar negeri dengan bantuan kantor pajak pemerintah negara lain. Saat ini, Indonesia telah memiliki kerja sama dengan 13 negara untuk menagih utang pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan, pihaknya saat ini telah memiliki kerja sama dengan sejumlah negara untuk membantu mengejar para pengemplang pajak. Kerja sama saat ini telah diteken dengan Aljazair, Amerika Serikat, Armenia, Belanda, Belgia, Filipina, India, Laos, Mesir, Suriname, Yordania, Venezuela, dan Vietnam.
“Kami bisa meminta bantuan otoritas pajak negara lain untuk menagih kalau ada wajib pajak yang punya utang pajak dan berdomisili di luar negeri,” ujar Yon dalam Media Gathering di Bali, Rabu (3/11).
Pemerintah juga saat ini telah meneken kesepakatan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan atau authomatic exchange of information (AEOI) dengan 103 negara. Melalui kerja sama tersebut, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah menerima data ribuan triliun aset keuangan di luar negeri milik wajib pajak Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.
Dalam unggahan di Instagram pada 22 Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut telah menerima lebih dari 1,6 juta informasi financial account dari berbagai negara dengan nominal mencapai € 246,6 miliar. “Idealnya dari database yang sudah ada dikejar para pengemplang pajak, bukan memberikan pengampunan berikutnya,” ujar Sri Mulyani.
Namun, pemerintah kini juga tengah berencana menggelar program pengungkapan sukarela (PSP) atau tax amnesty jilid 2 mulai 1 Januari 2021
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, terdapat sejumlah perbedaan antara program pengungkapan sukarela yang akan digelar pemerintah dengan pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016-2017. Salah satunya adalah akses informasi yang kini dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak, antara lain dari kerja sama AEOI.
“Jadi, wajib pajak yang ingin ikut PSP harus patuh, jangan coba-coba karena Ditjen Pajak sekarang ini punya akses informasi dan nanti datanya akan divalidasi,” ujar Yustinus dalam media gathering Ditjen Pajak, Rabu (3/10).
Dalam UU HPP yang disahkan paripurna akhir bulan lalu, program ini akan dilaksanakan dalam dua skema. Pertama, harta yang diperoleh WP sejak tanggal 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 atau sebelum periode tax amnesty jilid pertama.
Kedua, pelaporan harta yang diperoleh pada 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020 atau setelah tax amnesty dan belum diungkapkan dałam SPT. Harta yang dilaporkan akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak penghasilan bersifat final. Perhitungannya dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Pada skema pertama, akan berlaku tarif pajak sebagai berikut:
- Tarif 6% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
- Tarif 8% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
- Tarif 11% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.
Kemudian ketentuan tarif untuk skema kedua, sebagai berikut:
- Tarif 12% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
- Tarif 14% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN.
- Tarif 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.