Pencurian Data Pribadi Hantui Pertumbuhan Pesat Fintech Saat Pandemi
Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, teknologi finansial (fintech) di Indonesia telah tumbuh pesat selama pandemi Covid-19. Namun, masalah pencurian data pribadi hingga penipuan masih menjadi pekerjaan rumah.
Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono mengatakan, pandemi Covid-19 mendorong masyarakat mendapatkan akses keuangan secara digital. Dampak baiknya adalah, inklusi keuangan semakin meningkat.
"Teknologi digital memberi peluang ekonomi baru dan inklusi keuangan. Akses modal secara digital memberi ketahanan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)," katanya dalam acara International Seminar on Digital Financial Inclusion bagian dari Perhelatan G20 pada Rabu (2/2).
Sejumlah kategori fintech pun tumbuh pesat. Fintech lending misalnya, mencatatkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 13,60 triliun per Dersember 2021. Nilainya meningkat 40,94% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 9,65 triliun.
Begitu juga pada kategori fintech pembayaran. BI mencatat, platform seperti OVO, GoPay, hingga DANA telah menguasai pasar uang elektronik di Indonesia mengalahkan bank sejak 2019.
OVO menguasai pasar uang elektronik di Indonesia yakni 20%. GoPay besutan Gojek menyamai pangsa pasar Bank Mandiri sebesar 19%. Sementara DANA dan BCA 10%. Kemudian BRI 6,3%, LinkAja 5,8%, ShopeePay 3,7%, BNI 1,3%, dan Doku 1,2%.
Namun, ia menyebut fintech tetap tidak lepas dari risiko. Menurutnya, meskipun tingkat inklusi keuangan Indonesia tinggi, literasi keuangan masih saja rendah.
"Tingkat literasi keuangan hanya mencapai 36%. Ini membawa risiko penyalahgunaan data pribadi, penipuan di aplikasi, penggunaan algoritme yang berbahaya, praktik penagihan utang yang tidak sesuai," katanya.
Risiko itu sejalan dengan riset dari Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) pada 2020 yang menunjukkan bahwa 22% platform fintech pembayaran dan 18% fintech lending pernah mengalami serangan siber. Sebanyak 95% dari 154 fintech mengaku, kurang dari 100 penggunanya mengalami serangan siber.
Risiko tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi regulator. Sedangkan, Deputi Komisioner OJK Imansyah mengatakan, otoritas telah menyiapkan sejumlah cara untuk mengantisipasi risiko-risiko itu.
OJK menyiapkan regulatoy sendbox yang menjadi pusat inkubasi atau wadah untuk menguji keandalan proses dan model bisnis fintech.
Dalam mengantisipasi kebocoran data pribadi OJK pun membuat Peraturan OJK (POJK) dan surat edaran terkait manajemen risiko teknologi informasi untuk bank umum. Ada juga POJK dan surat edaran terkait standar penyelenggaraan teknologi informasi bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Regulasi itu mengatur penyelenggara layanan keuangan wajib menerapkan pengawasan, standar, sistem pengendalian, dan audit. Fasilitas pelaporan juga harus disediakan oleh bank dan BPR.
OJK juga menyiapkan peta jalan pengembangan perbankan Indonesia. Di dalamnya memuat soal keamanan siber yang menjadi sub-pilar dalam upaya digitalisasi perbankan.
Selain regulasi, OJK gencar melakukan literasi digital kepada masyarakat. "Agar masyarakat memiliki pendidikan yang seimbang dan sadar terkait risiko," katanya.