Dana Pemerintah Belum Cair, Garuda Cari Pinjaman Rp 2 T ke Bank BUMN
PT Garuda Indonesia Tbk tengah memproses pinjaman dari tiga bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menjadi bridging loan atau dana talangan sementara. Langkah ini dilakukan sembari menunggu proses pencairan dana dari pinjaman pemerintah senilai Rp 8,5 triliun.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan nilai dari pinjaman yang diajukan ke tiga bank BUMN masih dibicarakan. Namun ia menyebut dana yang diincar perseroan sekitar Rp 2 triliun.
"Terkait pinjaman saat ini masih diskusi, belum ada kepastian," kata Irfan kepada Katadata.co.id, Jumat (7/8).
Berdasarkan keterangan Garuda Indonesia dalam keterbukaan informasi, maskapai milik pemerintah ini perlu secepatnya merealisasikan kewajiban pembayaran biaya-biaya operasional yang selama ini sudah tertunda, imbas dari kondisi pandemi virus corona atau Covid-19.
Oleh karena itu Garuda Indonesia melakukan upaya diskusi dengan tiga bank BUMN, yakni PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Dana pinjaman berfungsi sebagai bridging loan untuk mendukung aktivitas dan memenuhi kewajiban pembayaran biaya operasional.
Biaya operasional yang dimaksud antara lain biaya bahan bakar, sewa dan perawatan pesawat. Selain itu, dana pinjaman juga akan digunakan untuk biaya operasional lainnya, salah satunya biaya jasa kebandaraan.
Bridging loan ini sangat dibutuhkan Garuda Indonesia, karena pinjaman dari pemerintah sebesar Rp 8,5 triliun saat ini masih diproses. Mekanisme realisasi pencairan dana pinjaman pemerintah dilakukan dalam bentuk penerbitan obligasi wajib konversi alias mandatory convertible bond.
"Proses penerbitan instrumen terkait membutuhkan waktu, termasuk dibutuhkannya persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)," ujarnya.
Dari sisi strategi operasional, Garuda Indonesia akan memperkuat langkah pemulihan seoptimal mungkin agar kinerja semakin membaik. Targetnya, perseroan dapat rebound dari posisi rugi Rp 10,47 triliun yang dibukukan sepanjang semester I 2020.
Secara garis besar, strategi yang dijalankan perseroan meliputi pemulihan kinerja secara menyeluruh pada berbagai lini bisnis. Misalnya optimalisasi pendapatan penumpang penerbangan berjadwal, layanan kargo, hingga penerbangan tak berjadwal atau charter.
"Fokus utama kami adalah mengupayakan perbaikan fundamental perseroan secara terukur dan berkelanjutan," kata Irfan dalam siaran pers, Selasa (4/8).
Selain menjalankan strategi pemulihan dari segmen bisnis, perseroan juga membenahi pengelolaan biaya. Beberapa aspek yang dimaksud antara lain negosiasi biaya sewa pesawat, restrukturisasi utang, hingga efisiensi di seluruh lini operasional.
Menurut Irfan langkah strategis pengelolaan biaya ini diperlukan agar perseroan mampu menyelaraskan tren permintaan dan penawaran di masa pandemi virus corona atau Covid-19. Melalui langkah pemulihan kinerja ditambah dukungan penuh pemerintah dan soliditas stakeholder penerbangan, ia yakin maskapai pelat merah ini dapat bertahan dan kembali bangkit.
Seperti diketahui, kinerja Garuda Indonesiaa terpuruk pada semester I 2020 dengan catatan rugi bersih mencapai US$ 712,72 juta atau setara dengan Rp 10,47 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dolar AS). Padahal di periode yang sama tahun lalu perseroan berhasil membukukan laba US$ 24,11 juta.
Catatan rugi ini disebabkan karena pendapatan perseroan turun 58,18% menjadi hanya US$ 917,28 juta sepanjang semester I 2020. Pada semester I 2019 perseroan mampu meraup pendapatan sebesar US$ 2,19 miliar.
Anjloknya pendapatan Garuda Indonesia disebabkan karena selama pandemi corona frekuensi penerbangan turun drastis. Sebelumnya perseroan rata-rata melayani lebih dari 400 penerbangan per hari, namun selama pandemi corona turun di kisaran 100 penerbangan per hari.