Pemerintah Buka Empat Opsi Penyelamatan Garuda, Termasuk Likuidasi
PT Garuda Indonesia Tbk tengah berada dalam tekanan keuangan karena pandemi Covid-19. Emiten berkode saham GIAA ini bahkan memiliki utang hingga Rp 70 triliun. Karena itu pemerintah sedang berjuang keras melakukan penyelamatan Garuda.
Merespons kondisi tersebut, Kementerian Badan Usaha Milik Negara mewakili pemerintah sebagai pemegang saham, memaparkan beberapa opsi penyelamatan Garuda. Salah satunya, maskapai yang didirikan sejak 1949 ini harus dilikuidasi.
Berdasarkan dokumentasi yang diperoleh Katadata.co.id, terdapat empat opsi yang diajukan Kementerian BUMN untuk Garuda dalam upaya penyelamatan maskapai milik negara tersebut. Opsi ini ada berdasarkan hasil acuan yang telah dilakukan oleh pemerintah negara lain.
Opsi pertama, pemerintah terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas. Meski begitu, opsi ini memiliki potensi meninggalkan Garuda dengan warisan utang yang besar, hingga membuat situasi yang menantang di masa depan.
Pemerintah mempertimbangkan opsi tersebut setelah berkaca pada Singapore Airlines (Singapura), Cathay Pacific (Hong Kong), dan Air China (Tiongkok) yang menjalankan langkah penyelamatan maskapai.
Opsi kedua, menggunakan jalur hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda. Dengan menggunakan proses pailit legal atau legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban, misalnya utang, sewa, atau kontrak kerja.
Ada beberapa opsi yurisdiksi yang bisa digunakan untuk menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan. Seperti melalui penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau menggunakan yurisdiksi asing seperti U.S. Chapter 11.
Meski begitu, ada catatan pemerintah pada opsi ini adalah ketidakjelasan bahwa undang-undang kepailitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi. Selain itu, restrukturisasi berisiko hanya berhasil memperbaiki sebagian masalah, yakni utang dan sewa. Namun hal itu tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya, seperti persoalan kultur dan hukum.
Pemerintah mempertimbangkan opsi menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan ini, mencontoh maskapai lain seperti Latam Airlines (Chili), Malaysia Airlines (Malaysia), dan Thai Airways International (Thailand).
Opsi ketiga, restrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional yang baru. Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi, tapi di saat yang bersamaan, pemerintah mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru.
Maskapai penerbangan domestik baru ini akan mengambil alih sebagian besar rute domestik yang sebelumnya diterbangi oleh Garuda. Maskapai baru ini juga akan dijadikan national carrier di pasar domestik.
Estimasi modal yang dibutuhkan untuk mendirikan maskapai baru ini sekitar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 17,16 triliun berdasarkan kurs Rp 14.300. Untuk opsi ini, pemerintah memberi catatan untuk mengeksplorasi lebih lanjut sebagai opsi tambahan agar Indonesia tetap memiliki national flag carrier.
Beberapa maskapai di dunia pun menjalankan opsi restrukturisasi sembari mendirikan perusahaan maskapai baru. Seperti Sabena Airlines (Belgia) dan Swissair (Swiss).
Opsi terakhir yang dimiliki pemerintah adalah melakukan likuidasi Garuda dan membiarkan sektor swasta mengisi kekosongan tersebut. Menurut pemerintah, cara ini mampu mendorong swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.
Namun, opsi terakhir ini membuat Indonesia tidak lagi memiliki maskapai penerbangan nasional lagi. Sebenarnya, pemerintah masih memiliki Merpati Nusantara Airlines, namun kondisinya tidak lebih baik dari Garuda saat ini karena sedang dikelola oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Opsi likuidasi yang dipikirkan pemerintah ini mencontoh maskapai lain di luar negeri, seperti Varig Airlines (Brasil) dan Malev Hungarian Airlines (Hongaria).
Katadata.co.id telah menghubungi Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga untuk mengkonfirmasi opsi mana yang paling mungkin dijalankan pemerintah. Namun, baik Kartika maupun Arya, belum memberikan respons pesan singkat yang dikirimkan Katadata.co.id.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, perusahaan telah mengambil langkah efisiensi biaya dengan menawarkan opsi pensiun dini bagi karyawannya. Opsi pensiun dini Garuda ini diambil karena jumlah utang perusahaan yang makin membengkak di tengah pengurangan jumlah armada hingga 50% di masa pandemi.