Revisi Harga Batu Bara Acuan Bawa Angin Segar ke Emiten Pertambangan
Revisi Harga Batu Bara Acuan (HBA) dinilai memberi angin positif bagi emiten di sektor batu bara. Para analis pun memproyeksikan laba dan pendapatan perusahaan di bidang pertambangan itu bisa meningkat sehingga mendorong kenaikan harga sahamnya.
Analis Henan Putihrai Sekuritas Ezaridho Ibnutama mengatakan bahwa formulasi HBA baru akan menjadi akan angin segar untuk industri batu bara karena formulasi lama memang membebankan perusahaan dengan skema royalti yang tinggi. Formulasi yang baru akan menolongkan sesuaian harga jual batu bara nyata dengan harga batu bara acuan.
"Perusahaan dengan kontribusi berat dari ekspor akan mendapatkan benefit seperti INDY, ADRO, BYAN, dan BUMI," katanya kepada Katadata, Selasa (14/3).
Henan Putihrai menginisiasi INDY dengan peringkat buy dengan target harga 3.700. Selain pemulihan peralihan dari kerugian bersih akibat lonjakan ASP batu bara dan volume penjualan baru-baru ini, langkah perusahaan untuk menjadi net zero carbon pada tahun 2050 layak untuk diberikan valuasi yang lebih premium.
Untuk informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meluncurkan formula HBA baru. Hal ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 41.K/MB/01/MEM.B/2023 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Batu Bara.
Pada formula sebelumnya, HBA diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal per kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.
Sementara formula HBA yang baru memakai rata-rata harga jual batubara dua bulan sebelumnya dengan persentase yang berbeda. Yaitu 70% pada bulan sebelumnya dan 30% dua bulan sebelumnya
Analis Shinhan Sekuritas Indonesia Anissa Septiwijaya juga mengatakan, untuk revisi HBA yang baru bisa berdampak positif bagi emiten batu bara, karena cenderung lebih fair. Sebelumnya gap antara HBA dan harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) produsen batu bara cukup besar.
“Jadi dengan formula baru diharapkan dapat mendorong juga perolehan pendapatan ke depannya, terutama pada saat harga batu bara dalam tren naik,” katanya.
Dengan formula HBA yang baru ini beberapa emiten yang diuntungkan yang memiliki porsi ekspor yang besar yaitu ITMG dan ADRO.
“Sementara stockpick kami untuk sektor batu bara adalah ADRO dengan target harga 4.000,” ucap Anissa.
Tim riset CGS CIMB Sekuritas juga menilai, perubahan formula HBA ini positif bagi perusahaan batu bara, terutama bagi ADRO dan ITMG. Ini karena formula baru tersebut memasukkan harga batubara aktual yang dijual di Indonesia dan tidak memasukkan harga acuan Newcastle.
Sebelumnya, masuknya harga Newcastle mengakibatkan ketidaksesuaian dengan harga realisasi penjualan, yang sebagian besar mengikuti harga Indonesia Coal Index (ICI). Sehingga, emiten harus membayar biaya royalti tambahan sebesar 2% sampai 3% dari pendapatannya karena ketidaksesuaian tolok ukur ini.
Secara umum, kebijakan ini memang menguntungkan hampir semua penambang batubara, secara khusus seperti ADRO dan ITMG. Namun, PTBA dinilai tidak akan terlalu terpengaruh karena persentase penjualan batubara ke pasar domestik yang cukup tinggi.
“Sementara itu kami memperkirakan skema HBA baru ini tidak akan berdampak pada PT Adaro Minerals Indonesia Tbk, mengingat tolok ukur tersebut masih mengacu pada harga batubara termal,” tulis tim riset CGS CIMB Sekuritas.
Adapun pada penutupan perdagangan Selasa (14/3) sesi I, sektor energi anjlok 1,85%. Di mana, saham ADRO menurun 2,76% ke posisi Rp 2.820 per saham, ITMG turun 1,87% ke level Rp 38.025, dan PTBA juga turun 1,53% menjadi Rp 3.870 per saham. Bahkan ADMR anjlok 3,51% ke Rp 1.100 per sahamnya.