Daftar Kendala Bisnis Menurut Pengusaha, dari Perizinan sampai Listrik
Birokrasi masih dianggap sebagai faktor penghambat investasi. Di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian, banyak aturan tumpang tindih di dalam negeri mengurangi daya tarik bagi pelaku usaha.
"Jangan lupa untuk dalam negeri masih punya regulasi yang jadi permasalahan sekali," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (9/8).
Dia mencontohkan, janji pemerintah untuk memberikan diskon tarif listrik di luar jam operasional belum terealisasi. Lalu, harga gas yang sebesar US$ 6 juga belum jadi kebijakan. Selain itu, lamanya dwelling time juga masih jadi penghambat kegiatan ekspor impor.
Hariyadi mengungkapkan, beberapa paket kebijakan yang dirilis pemerintah juga belum efektif. Sehingga, pengusaha meminta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk memberikan solusi.
(Baca: Sri Mulyani Minta Birokrasi Dibenahi agar Investasi Genjot Ekonomi)
"Semua yang terkait dengan kemudahan berusaha, penciptaan lapangan kerja, efisiensi biaya itu semua harus jadi perhatian. Kalau tidak, kita kehilangan daya saing," ujar Hariyadi.
Menurut Hariyadi, pengusaha berharap adanya pindahan investasi dari Vietnam. Sebab, kapasitas industri Vietnam sudah penuh, sehingga ada kemungkinan investor Tiongkok melirik Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta efisiensi birokrasi agar investasi yang masuk semakin besar. Oleh karena itu, dia meminta pembenahan kembali dilakukan.
Apalagi, rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi (ICOR) di Indonesia masih di atas 6%. ICOR alias Incremental Capital Output Ratio adalah rasio yang menunjukkan efisiensi penggunaan modal dan dampaknya kepada pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, Vietnam yang punya ICOR lebih rendah sebesar 4,5% bisa memicu pertumbuhan ekonomi sampai 7%.
(Baca: Aliran Masuk Modal Asing Berlanjut, Tembus 179 T Sepanjang Tahun)
Bahkan, Tiongkok yang pernah mengalami era pertumbuhan ekonomi di atas 8% punya tingkat ICOR sebesar 3%. "Biaya ekonomi pasti tinggi, karena banyak perantara daripada orang yang benar-benar kerja, terlalu banyak pembahasan," kata Sri Mulyani.