Risiko Melemahnya Rupiah Semakin Besar Menjelang 2019
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah berisiko kembali membesar. Hal itu seiring dengan lebarnya defisit transaksi berjalan di tengah rencana kenaikan lanjutan bunga acuan Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate, akhir tahun ini. Defisit yang lebar menunjukkan besarnya ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing (valas) di dalam negeri.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengatakan defisit transaksi berjalan menjadi faktor yang perlu diwaspadai pada dua bulan terakhir tahun ini. Ia memprediksi belum akan ada perbaikan signifikan sehingga defisit akan melewati 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di akhir tahun. Ini artinya di atas batas aman yang dibidik Bank Indonesia (BI) dan pemerintah.
(Baca juga: Defisit Transaksi Berjalan Kuartal III Tinggi, BI: Tidak Melebihi 3,5%)
“Kondisi CAD (current account deficit) yang tidak menunjukkan perbaikan akan memicu sentimen negatif pada awal tahun 2019. Tekanan terhadap rupiah akan lebih besar dan membutuhkan upaya yang lebih keras dari BI untuk menjaga nilai rupiah. Cadangan devisa akan tergerus lebih besar,” kata dia Kepada Katadata.co.id, Senin (29/10).
Dengan skenario defisit transaksi berjalan menembus 3% terhadap PDB, ia memperkirakan cadangan devisa akan tergerus ke kisaran US$ 105 miliar dari posisi US$ 114,8 miliar per akhir September lalu. Penurunan tersebut seiring upaya BI untuk mempertahankan nilai tukar rupiah di kisaran 15.400 per dolar AS.
(Baca juga: Ancaman Berkepanjangan dari Defisit Transaksi Berjalan)
Kenaikan bunga acuan lebih awal atau lebih besar untuk mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate diperkirakannya tidak akan efektif dalam meredam arus keluar dana asing yang menekan nilai tukar rupiah. Hal ini merujuk pada kondisi Agustus lalu, saat BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin buat mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate pada September.
“Dampaknya tidak signifikan meredam arus keluar dana asing pada saat memang arus keluar itu besar,” ujarnya. Meski begitu, ia menilai kenaikan tetap harus dilakukan tapi tidak mendahului kenaikan Fed Fund Rate dan tidak perlu lebih besar dari kenaikan Fed Fund Rate.
(Baca juga: Bila Harga Minyak US$ 100, Kurs Rupiah Berisiko Tembus 16 Ribu)
Nilai tukar rupiah menembus level 15.200 per dolar AS pada awal Oktober ini, lalu stabil di kisaran 15.200-an, bahkan sempat lebih kuat di kisaran 15.100. Relatif stabilnya pergerakan kurs rupiah seiring dengan kembali masuknya dana asing ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Per 25 Oktober lalu, kepemilikan asing tercatat Rp 859,12 triliun, naik Rp 8,27 triliun dari posisi akhir September yang sebesar Rp 850,85 triliun.
Adapun kurs rupiah telah mengalami tren pelemahan selama hampir sembilan bulan atau sejak Februari lalu. Pada perdagangan di pasar spot Senin (29/10), nilai tukar rupiah ditutup di level 15.222 per dolar AS atau melemah 12,3% dibandingkan dengan posisi awal tahun ini (year to date).