Pajak Impor Ribuan Barang Konsumsi Naik Hingga 7,5%
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan peraturan menteri terkait pembatasan impor sejumlah 1.147 barang konsumsi. Kebijakan ini dilakukan dengan menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 2,5% - 7,5%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembatasan impor tersebut bertujuan memperbaiki defisit neraca perdagangan. Penerapannya berlaku efektif tujuh hari setelah peraturan ditandatangani pada Rabu (5/9).
"Kami mengidentifikasi barang-barang apa saja yang bisa kami kendalikan. Kami detilkan penelitian agar (pembatasan impor) tak pengaruh ke perekonomian," katanya, di Jakarta, Rabu (5/9). (Baca juga: Tingkatkan Devisa Ekspor, Eksportir Bandel Kena Disinsentif)
Persentase penaikan PPh barang impor berbeda-beda, yakni sebesar 2,5%, 5%, dan 7,5%. Sejumlah 719 komoditas dengan PPh 2,5% dinaikkan menjadi 7,5%. Contohnya adalah keramik, ban, peralatan elektronik audio-visual (kabel dan box speaker), serta produk tekstil (overcoat, polo shirt, swim wear).
Sebanyak 218 komoditas lain dengan tarif 2,5% naik menjadi 10%. Ini adalah produk konsumsi yang sebagian besar dapat disubtitusi oleh produksi lokal, semisal barang elektronik semacam dispenser air, pendingin ruangan, lampu; keperluan sehari-hari berupa sabun, sampo, kosmetik; serta berbagai peralatan dapur.
Ada pula 210 produk lain dengan pajak 7,5% naik menjadi 10%. Ratusan komoditas ini mencakup barang mewah, seperti mobil impor utuh atau completely built-up (CBU) dan motor besar.
Sementara itu, terdapat 57 komoditas impor tetap pada tarif PPh sebesar 2,5%. Puluhan produk ini termasuk bahan baku utama yang dikonsumsi masyarakat dan berpengaruh terhadap aktivitas produksi.
Pemerintah berharap bahwa nilai impor ribuan barang konsumsi yang mencapai miliaran dolar Amerika Serikat (AS) dapat berkurang sekitar 2%. Sampai dengan pengujung tahun lalu total nilai impornya mencapai US$ 6,6 miliar, sedangkan per Agustus tahun ini sekitar US$ 5 miliar. "Maka kami menilai perlu dikendalikan," ujar Sri.
Pembayaran PPh Pasal 22 dapat dilakukan di muka dan bisa dikreditkan sebagai bagian dari pembayaran PPh terutang pada akhir tahun pajak. Dengan kata lain, penaikan tarif pajak penghasilan ini diklaim pemerintah takkan memberatkan pelaku industri.
(Baca juga: Langkah Realistis Pemerintah Hadapi Defisit)
Pengendalian keran impor dengan menaikan tarif PPh bukan pertama kali dilakukan pemerintah. Kebijakan serupa diterapkan pada 2013 melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 175/PMK.011/2013. Beleid ini merespons taper tantrum. Kala itu PPh Pasal 22 untuk 502 komoditas konsumsi naik dari 2,5% menjadi 7,5%.
Pada 2015, kebijakan tersebut berlanjut dengan dipayungi PMK Nomor 107/PMK.010/2015. Peraturan ini mengatur kenaikan PPh Pasal 22 atas 240 barang konsumsi dari 7,5% menjadi 10%. Ratusan komoditas tersebut merupakan produk yang PPNBM-nya (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) dihapus.