Ditjen Pajak Jelaskan Dua Penyebab Rasio Pajak Masih Rendah
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menjelaskan beberapa alasan rasio pajak Indonesia yang masih di bawah 11%. Rasio pajak di Indonesia yang berada di bawah negara-negara lain di antaranya disebabkan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menyebutkan PTKP di Indonesia saat ini Rp 54 juta per tahun tergolong lebih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Alhasil, hal ini mengurangi potensi penerimaan pajak di Indonesia.
Sampai saat ini pun pemerintah belum memiliki rencana untuk melakukan penyesuaian PTKP. "Setahu saya belum ada rencana penyesuaian PTKP lagi," ujar Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal saat pelatihan Kemenkeu di Jeep Station Indonesia, Bogor, Rabu (13/12).
(Baca: Kejar Pajak, Kemenkeu Janji Utamakan Sosialisasi Sebelum Proses Hukum)
Yon mengatakan besaran PTKP di Indonesia tergolong yang tertinggi dibanding negara ASEAN. Di Malaysia, PTKP hanya Rp 28 juta per tahun atau Rp 2,3 juta per bulan. Di Thailand pun hanya sebesar Rp 23 per tahun atau sekitar Rp 1,9 juta per bulan. Indonesia hanya sedikit lebih rendah dibanding Vietnam.
Alhasil, Produk Nasional Bruto (Gross National Product/GNP) per kapita masyarakat Indonesia mencapai 0,4%, sementara negara lain hanya 0,1% persen. PNB ini menunjukan pendapatan total ekonomi suatu negara selama setahun, termasuk nilai produksi yang dihasilkan oleh penduduk dari negara tersebut baik di dalam ataupun di luar wilayah negara.
(Baca juga: Ingatkan Bawahan, Sri Mulyani: Jangan Sembrono Kejar Penerimaan Negara)
Menurut dia, ini adalah contoh kebijakan yang berpengaruh terhadap basis pajak. Kemudian, berpengaruhnya juga pada penurunan potensi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Ujungnya memengaruhi rasio pajak.
Padahal jika dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR), banyak masyarakat Indonesia yang memeroleh pendapatan di bawah itu. Di Jakarta, misalnya, PTKP yang sebesar Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan mencapai 134% dari UMR. Apalagi di Semarang, DI Yogyakarta, dan Solo yang PTKP nya mencapai 300% atau tiga kali lipat dari UMR.
"Kalau di bawah (PTKP) dia tidak bayar pajak sama sekali. Dia tidak ada di dalam basket penerimaan. Jadi dia tidak bayar pajak," tutur Yon.
Selain itu, penyebab rasio pajak yang rendah karena batasan Pengusaha Kena Pajak (PKP) di Indonesia ditetapkan sebesar Rp 4,8 miliar per tahun juga merupakan yang tertinggi dibanding negara tetangga. Baik Malaysia dan Vietnam menerapkan batasan PKP yang lebih rendah.
Pengusaha yang tidak tergolong PKP maka terbebas dari pajak. Namun di Filipina, sekalipun dia bukan PKP tetap akan dikenakan pajak tetapi tarifnya hanya 3%, begitu juga di Vietnam juga diterapkan tarif 5%.
"Maka perhitungan rasio pajak untuk komparasi ke banyak negara itu ada banyak faktor yang diperhatikan. Seperti komponen pembentuk, formulasinya, dan sistem perpajakan apa yang melandasi, misal, policy dan sebagainya. Belum lagi admistrasi, yang bisa mengatur kapasitas otoritas pajak," kata dia.