Sri Mulyani sebut Laporan Ponsel di SPT Pajak Telah Berlaku Sejak Lama
Kepemilikan telepon seluler (ponsel atau smartphone) yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak menjadi pembicaraan publik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta agar masyarakat tak salah kaprah dalam melihat aturan tersebut.
"Aturannya sudah sejak 2000. Yang komentar soal itu suruh lihat aturannya," kata dia usai Rapat Koordinasi (Rakor) mengenai tax system di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (18/9). (Baca juga: Pacu Investasi, Jokowi dan Sri Mulyani Evaluasi Insentif Pajak)
Aturan mengenai pelaporan kekayaan termuat dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 16 Tahun 2000. Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi UU Nomor 28 Tahun 2007 yang berisi penjelasan mengenai SPT Tahunan.
(Baca juga: Desak Pemda Tarik Investasi, Pemerintah Pertimbangkan Hukuman)
Sri mengatakan dalam aturan tersebut, memang tak ada hukuman yang rigid bagi yang tak melaporkan kepemilikan ponsel. Namun, ia mengimbau wajib pajak patuh membayar dan melaporkan pajaknya. "Seyogyanya tertib melaporkan. Tapi sekali lagi yang prioritas silakan dilaporkan," tutur Sri Mulyani.
Pekan lalu Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menghimbau para pemilik telepon seluler untuk melaporkan gadget-nya dalam SPT Tahunan pajak. Himbauan itu disampaikan melalui unggahan dalam akun twitter @DitjenPajakRI pada 13 September 2017 lalu.
"Lagi heboh smartphone yang baru rilis ya? Ingat, tambahkan smartphone di kolom harta SPT tahunan ya. #sadarpajak," cuit Ditjen Pajak di akun Twitter @DitjenPajakRI. (Baca juga: Investasi di Sektor Energi Baru Terbarukan Makin Diminati)
Unggahan ini kemudian direspon oleh warganet, termasuk bekas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Rizal melalui akun twitternya @RamliRizal, berkomentar bahwa unggahan Ditjen Pajak itu menunjukkan bahwa pemerintah sedang kesulitan mencari penerimaan yang berasal dari pajak, guna memenuhi kebutuhan mencicil utang berikut bunganya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa sesuai dengan ketentuan yang ada selama ini, wajib pajak berkewajiban melaporkan harta dan utang yang dimiliki dalam SPT Tahunan Pajaknya.
(Baca juga: Penulis Susah Urus Lebih Bayar Pajak, Sri Mulyani: Lapor Lewat Medsos)
Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak secara spesifik menjabarkan jenis-jenis harta yang harus dilaporkan. Agar tidak merepotkan wajib pajak, maka harta yang dinilai sangat mahal oleh wajib pajak saja yang dilaporkan. "Kalau mau semua dilaporkan boleh," ujar Yoga kepada Katadata akhir pekan lalu.
(Baca juga: Jawab Kebutuhan, Pajak Berbagai Profesi Dikaji Ulang)
"Prinsipnya kalau di SPT, dilaporkan penghasilan dan harta, misal, setahun penghasilan dilaporkan. Yang dikonsumsi sebagian jadi harta, misal rumah, mobil, deposito. Tidak ada aturan rigidnya sih."
Maka dari itu, menurut dia tidak ada hukuman yang kaku juga bagi wajib pajak yang tidak melaporkan smartphone dalam SPT Tahunan Pajaknya. Namun bila kemudian diketemukan oleh petugas pajak, maka harta yang belum dilaporkan tersebut akan menjadi bahan untuk verifikasi lebih lanjut. Hanya untuk menyelaraskan data saja, antara yang dimiliki Ditjen Pajak dan wajib pajak.
Akan tetapi, jika harta yang ditemukan itu milik wajib pajak yang sudah mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) maka akan dikenakan sanksi dua kali lipat. Itu sudah sesuai dengan pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Amnesti Pajak. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan pun sudah diinformasikan mengenai ketetapan ini.
"Kecuali dalam konteks amnesti pajak, harta yang diperoleh sebelum 2015. Itu pasal khusus (ketetapan hukumannya). Kalau dalam kondisi normal, tidak ada sanksi untuk pelaporan harta. Tapi nanti kalau ditemukan, sebagai indikasi cek silang apakah yang dilaporkan ini benar. Misal, dilaporkan Rp 100 juta lalu ditemukan rumah di Pondok Indah senilai Rp 5 miliar," kata Yoga.