DPR Minta Moratorium Pembentukan Anak Usaha BUMN
Komisi BUMN Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta moratorium atau penangguhan pembentukan anak-anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permintaan itu berdasarkan banyaknya kasus penyelewengan dan kerugian yang diakibatkan oleh pembentukan anak-anak usaha BUMN ini.
Wakil Ketua Komisi BUMN (Komisi VI) DPR Azam Azman mengungkapkan, adanya praktik pembentukan anak usaha BUMN berbentuk perusahaan wahana khusus atau special purpose vehicle (SPV). Tujuannya untuk melepaskan sebagian aset dari induk usahanya yang notabene adalah BUMN, sehingga merugikan negara.
“Informasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata anak perusahaan itu menjadi special vehicle untuk melepaskan aset. Sebanyak 60 persen penyelewengan itu ada di anak perusahaan,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan perwakilan Kementerian BUMN dan beberapa BUMN sektor pertambangan di Jakarta, Senin (25/4) malam. Karena itulah, DPR meminta penangguhan pembentukan semua anak usaha BUMN sampai DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) BUMN.
Sebenarnya, keputusan DPR yang meminta moratorium pembentukan anak usaha BUMN itu sudah ada dalam keputusan Panitia Kerja (Panja) aset BUMN pada 2014 lalu. Namun, sepertinya keputusan tersebut tidak terlalu dihiraukan oleh BUMN. Kini, Komisi VI DPR menegaskan kembali keputusan tersebut. Azam mengatakan, mekanisme pembentukan anak usaha BUMN akan dimasukan dalam RUU BUMN sehingga penyelewengan oleh anak usaha bisa diminimalisir.
Meski begitu, dia menilai pembentukan anak usaha dengan mekanisme join venture alias patungan masih bisa dilakukan dan tidak perlu moratorium. Alasannya, pembentukan anak usaha patungan itu murni untuk kepentingan bisnis. Selain itu, perusahaan pelat merah Indonesia perlu membentuk joint venture dengan perusahaan lain karena minimnya teknologi dan pembiayaan.
(Baca: Bentuk Holding, Menteri Rini Jamin Anak Usaha Tetap Berstatus BUMN)
“Kalau joint venture ini tidak melepaskan aset, tidak masalah sebetulnya. Joint venture itu bisnis biasa,” ujar Azman. Ke depan, lanjut dia, mekanisme pembentukan anak usaha patungan juga akan dimasukkan ke dalam RUU BUMN.
Di tempat yang sama, Deputi bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menganggap permintaan moratorium pembentukan anak usaha BUMN tersebut bukan merupakan masalah yang besar. Apalagi, Kementerian BUMN juga sedang mengevaluasi pembentukan anak usaha ini. “Kami memang sedang menata semua anak usaha BUMN.”
(Baca: Peraturan Pemerintah tentang Induk Usaha BUMN Segera Terbit)
Harry pun sependapat dengan keputusan Komisi VI terkait mekanisme pembentukan anak usaha patungan BUMN. Menurutnya, BUMN yang ada saat ini memang masih memerlukan teknologi dan pembiayaan dari pihak swasta, terutama swasta asing, untuk membiayai program-program yang akan dijalankan.
Di sisi lain, dia tidak mempermasalahkan kalau Komisi VI DPR menginginkan mekanisme pembentukan anak usaha BUMN itu dimasukkan dalam pembahasan Panja Aset BUMN pada tahun ini. “Kami siap berdiskusi bersama dengan anggota Panja Aset BUMN yang ada,” ujarnya.