Rekor Baru, Penerimaan Pajak Tembus Rp 1.000 Triliun

Muchamad Nafi
28 Desember 2015, 16:08
Bambang Brodjonegoro
Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro

KATADATA - Agak mencengangkan langkah Kementerian Keuangan dalam empat pekan terakhir. Menjelang tutup tahun, otoritas fiskal itu mampu menjaring pungutan wajib dalam jumlah besar. Penerimaan pajak bertambah sekitar Rp 123 triliun dalam bulan ini.

Dengan pemasukan baru tersebut, penerimaan pajak per 25 Desember 2015 menembus Rp 1.000 triliun. Jumlah itu termasuk penerimaan dari Pajak Penghasilan Minyak dan Gas (PPh Migas). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan penerimaan ini melebihi pencapaian tahun-tahun sebelumnya. Padahal, per November lalu, realisasi pemasukan pajak baru mencapai Rp 877 triliun.

Dengan melihat data mutakhir tersebut, Bambang yakin penerimaan pajak bisa mencapai Rp 1.100 triliun di akhir 2015 atau 85 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yakni Rp 1.294,3 triliun. Karena itu, fokus utama Kementerian Keuangan untuk mencapai target dengan mengejar wajib pajak besar. (Baca: Penerimaan Pajak Baru 60 Persen, Defisit Anggaran Terancam Membesar).

“Benar (mencapai lebih dari) Rp 1.000 triliun,” kata Bambang usai Rapat Koordinasi terkait Kredit Usaha Rakyat di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin, 28 Desember 2015. Berkaca dari perkembangan terbaru ini, dia percaya selisih antara realisasi dan target penerimaan atau shortfall pajak hanya sekitar Rp 195 triliun.

Menurut Bambang, penerimaan ini melampaui realisasi penerimaan tahun-tahun yang lalu. Apalagi, jumlah Rp 1.000 triliun ini belum termasuk penerimaan dari kepabeanan dan cukai yang baru mencapai Rp 138,6 triliun per November. Bila Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mampu memenuhi target tahun ini sebesar Rp 178,8 triliun, total penerimaan negara diramal mencapai Rp 1.278,8 triliun dari angka sasaran Rp 1.489,3 triliun. “Yang pasti sudah melampaui tahun lalu. Sudah pasti itu rekor,” tutur Bambang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, realisasi penerimaan pajak, termasuk bea dan cukai, sejak 2007 hingga 2014 menunjukan tren meningkat walau selalu di bawah target. Secara berturut-turut, angkanya yakni sebesar Rp 490,98 triliun, Rp 658,7 triliun, Rp 620 triliun, Rp 723 triliun, Rp 874 triliun, Rp 981 triliun, dan Rp 1.077 triliun, dan Rp 1.143 triliun. (Baca juga: Penerimaan Tahun Depan Tertolong Pengampunan Pajak).

Agar target di akhir tahun tercapai, Bambang mengungkapkan terus berusaha meyakinkan sejumlah perusahaan untuk melakukan revaluasi aset pada Desember ini, mulai dari perusahaan BUMN hingga swasta yang bergerak di berbagai bidang usaha. Dengan begitu, pemerintah bisa menghimpun penerimaan pajak yang lebih besar. “Saya seringkali telepon dirut BUMN atau dirut swasta untuk revaluasi. Setiap ketemu pengusaha besar, saya katakan itu. Yang paling besar perbankan dan perkebunan,” ujar dia.

Sebelumnya, rendahnya penerimaan pajak hingga November lalu sempat menghawatirkan sejumlah kalangan. Pasalnya, shortfall pajak pada akhir tahun diduga membengkak hingga 20 persen atau sekitar Rp 259 triliun. Akibatnya, defisit anggaran negara tahun ini berpotensi melewati tiga persen dari produk domestik bruto. Padahal, Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 membatasi defisit anggaran maksimal tiga persen.

Kekhawatiran itu membuncah ketika Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito menyatakan mundur dari jabatannya. Kepada para wartawan melalui pesan singkat pada awal bulan ini, dia mengabarkan lengser dari dirjen karena tidak mampu mencapai target penerimaan pajak, yaitu realisasi penerimaan yang dapat dapat ditoleransi di atas 85 persen dari APBN P 2015. Sigit menghitung realisasi penerimaan pajak sampai akhir tahun hanya 80 hingga 82 persen. 

Untuk menangkis kepanikan rendahnya penerimaan negara di akhir tahun, pemerintah berupaya menekan pembengkakan defisit anggaran agar tidak melampaui tiga persen dari PDB. Salah satu langkhanya yaitu memperkecil batasan defisit anggaran daerah sehingga pemerintah pusat memiliki ruang fiskal yang lebih besar dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183 Tahun 2014. Beleid itu terkait dengan batas maksimal kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah.

Direktur Jendral Perimbangan Kementerian Keuangan Boediraso Teguh Widodo mengatakan perubahan batasan defisit anggaran daerah semata-mata agar APDB lebih realistis. Pasalnya, APBD selama ini cenderung mengalami surplus. APBD 2010, misalnya, ditetapkan defisit 0,65 persen. Namun, realisasinya malah surplus 0,15 persen. Begitu pun dengan 2011 ditetapkan defisit 0,49 persen namun surplus 0,39 persen. “Neraca anggaran rata-rata yang ditetapkan juga selalu defisit, tapi realisasinya selalu surplus,” kata Teguh.

Reporter: Desy Setyowati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...