SKK Migas Tak Lagi Berwenang di Aceh
KATADATA ? Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak mempunyai kewenangan lagi untuk mengelola kegiatan usaha hulu migas di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Hal ini menyusul pembentukan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Meski begitu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meminta BPMA melalui Gubernur Aceh tetap berkoordinasi dengan SKK Migas. Ini mengingat SKK Migas merupakan lembaga yang sudah berpengalaman di bidang usaha hulu migas.
?Saya sudah pesan ke Pak Gubernur Aceh, tolong butuhkan support expert, karena SKK migas kan punya pengalaman lebih. Kami akan dukung supaya nyambung,? kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/6).
Wakil Kepala SKK Migas M.I. Zikrullah menyatakan belum mengetahui seperti apa peran SKK Migas setelah adanya BPMA. Dia tidak mempermasalahkan pembentukan badan tersebut karena merupakan amanah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
?Kalau UU sudah amanahkan seperti itu sekarang ingin lihat komposisinya,? ujar dia.
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika juga tidak mempermasalahkan keberadaan BPMA. Dia juga tidak khawatir daerah lain menginginkan keistimewaan dalam pengelolaan sumber daya alam seperti di Aceh.
?Saya pikir tidak (ada kecemburuan), karena itu tidak tiba-tiba, hanya kelanjutan yang lalu,? ujar dia.
BPMA ini terbentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh. Dalam ketentuan dalam pasal 90 disebutkan SKK Migas tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di darat dan laut di wilayah Aceh sampai dengan dibentuknya BPMA.
Pada saat terbentuknya BPMA, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari perjanjian kontrak kerja sama bagi hasil migas antara SKK Migas dan KKKS yang berlokasi di Aceh dialihkan kepada BPMA. Namun kontrak kerja sama bagi hasil sebelum ada PP tersebut masih akan tetap berlaku sampai akhir masa kontrak kerja sama.
Secara hierarki hukum, kedudukan BPMA lebih tinggi daripada SKK Migas, yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013. Peraturan ini diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah keputusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan BP Migas.
(Baca: Sesuai Kesepakatan Damai, Aceh Boleh Kelola Migas di Wilayahnya)
BPMA memiliki delapan fungsi. Pertama, melaksanakan negosiasi dan pembuatan perjanjian kerja sama migas yang dilakukan pemerintah dan pemerintah Aceh. Kedua, melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama. Ketiga, mengkaji rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja.
Keempat, menyampaikan hasil kajian mengenai rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja yang telah mendapat persetujuan gubernur kepada menteri. Kelima, memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selanjutnya.
Keenam, memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran badan usaha atau bentuk usaha tetap. Ketujuh, melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan kontrak kerja sama kepada menteri dan gubernur. Kedelapan, memberikan rekomendasi penjual migas dari pengelolaan bersama, yang telah mendapat persetujuan gubernur kepada menteri, yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.