Survei: Pengusaha Masih Enggan Tarik Kredit Meski Kebutuhan Meningkat
Survei Bank Indonesia mengindikasikan kebutuhan pembiayaan korporasi pada Oktober 2020 meningkat. Kendati demikian, pelaku usaha masih enggan menambah pinjaman ke perbankan.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan kebutuhan pembiayaan korporasi yang meningkat terindikasi dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) sebesar 2,3%. Sektor yang kebutuhan pembiayaan yang meningkat antara lain sektor konstruksi, transportasi dan pergudangan, dan informasi dan komunikasi. "Pembiayaan terutama untuk mendukung aktivitas operasional, membayar kewajiban yang jatuh tempo, dan mendukung pemulihan setelah era normal baru," tulis Onny dalam survei yang dirilis Senin (16/11).
Mayoritas atau 48,2% responden yang menjawab bahwa kebutuhan pembiayaan meningkat akan memenuhinya dari dana sendiri, sementara 13,3% menambah pinjaman ke perbankan, dan 12% menarik pinjaman atau utang dari perusahaan induk. Secara umum, preferensi tersebut didasarkan pada kemudahan dan kecepatan memperoleh dana, optimalisasi fasilitas eksisting, dan biaya atau suku bunga yang lebih murah.
Sebanyak 68,8% responden memilih menggunakan dana sendiri karena kemudahan dan kecepatan memperoleh dana, sedangkan 16,7% beralasan untuk mengoptimalisasi fasilitas eksisting. Lalu 50% responden yang memilih memenuhi kebutuhan dana melalui perbankan didorong oleh faktor kemudahan dan kecepatan perolehan dana, sedangkan 18,8% oleh biaya suku bunga yang lebih murah.
Adapun 66,7% responden yang meminjam atau berutang dari perusahaan induk karena kemudahan dan kecepatan perolehan, sedangkan 16,7% karena suku bunga yang lebih murah.
Di sisi lain, hasil survei permintaan pembiayaan rumah tangga mengindikasikan bahwa sebagian besar responden rumah tangga tidak melakukan penambahan pembiayaan melalui utang atau kredit pada bulan laporan. Persentase responden yang tidak melakukan penambahan pembiayaan pada Oktober 2020 mencapai 88,4% dari total responden, sedikit meningkat dibandingkan dengan angka persentase bulan sebelumnya yang tercatat 86,9%. Sementara responden yang menyatakan melakukan penambahan utang tercatat sebanyak 11,6%.
Berbeda dengan korporasi, responden rumah tangga yang mengajukan penambahan pembiayaan melalui utang, mayoritas memperoleh pembiayaan dari bank dengan pangsa sebesar 23,8%, diikuti leasing dan koperasi dengan pangsa masing-masing sebesar 15,5% dan 14,8%. Menurut jenisnya, pembiayaan yang paling banyak diajukan oleh rumah tangga pada Oktober 2020 adalah kredit multi guna dengan pangsa sebesar 27,2% dari total pengajuan utang, diikuti Kredit Kendaraan Bermotor dan Kartu Kredit masing-masing sebesar 21,9% dan 14%.
Survei juga menunjukkan penyaluran kredit baru pada Oktober 2020 meningkat meski dengan dorongan yang lebih rendah. Kredit modal kerja masih menjadi prioritas penyaluran kredit baru, diikuti oleh kredit investasi, kredit konsumsi , dan KPR. Berdasarkan kategori lapangan usaha, penyaluran kredit baru terutama diprioritaskan pada lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, diikuti oleh industri pengolahan, konstruksi, serta pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Sementara penyaluran kredit baru diperkirakan kembali meningkat pada November 2020. Hal tersebut terindikasi dari SBT perkiraan penyaluran kredit baru November 2020 sebesar 41%, lebih tinggi dari 15% pada Oktober 2020. Berdasarkan kelompok bank, peningkatan tertinggi diperkirakan terjadi pada bank umum syariah, sementara berdasarkan jenis penggunaan peningkatan terjadi pada kredit modal kerja.
Penyaluran kredit baru pada sepanjang kuartal IV diperkirakan lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi penyaluran kredit baru pada kuartal III 2020. Hal tersebut terindikasi dari SBT perkiraan penyaluran kredit baru kuartal IV 2020 sebesar 73,6% yang lebih tinggi dibandingkan SBT perkiraan penyaluran kredit baru kuartal III 2020 sebesar 48,1%. Berdasarkan kelompok bank, peningkatan tertinggi diperkirakan terjadi pada Bank Umum Syariah. Sementara berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan tertinggi terjadi pada KMK.
Bank Indonesia mencatat kredit yang disalurkan oleh perbankan terkontraksi 0,4% dari periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 5.529,4 triliun pada September 2020, tergambar dalam databoks di bawah ini.
Perkiraan peningkatan penyaluran kredit baru didukung kebijakan penyaluran kredit yang tidak lebih ketat dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini terindikasi dari SBT perubahan kebijakan penyaluran kredit kuartal IV 2020 sebesar 3%, lebih rendah dibandingkan SBT periode sebelumnya sebesar 8,3%. Berdasarkan jenis penggunaan, pelonggaran kebijakan penyaluran kredit kuartal IV 2020 diperkirakan terjadi pada KMK, KI, dan Kredit Konsumsi Lainnya.
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance Rizal Taufikurahman mengatakan enggannya pelaku usaha menarik pinjaman ke bank terutama untuk produksi dikarenakan iklim usaha belum pulih. Kondisi pasar juga tidak menstimulus dan mendorong daya tarik konsumsi masyarakat akibat belum jelas kapan Covid-19 selesai.
Di sisi lain, dia menilai perbankan juga masih belum berani menyalurkan kredit karena debitur saat ini sangat rendah tingkat pengembaliannya. Namun demikian, permintaan debitur untuk meminjam ke bank memang masih sangat minim, meskipun Otoritas Jasa Keuangan sudah mengeluarkan kebijakan fleksibilitas pinjaman. "Hanya saja hal ini disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas debitur atas kredit yang mereka lakukan," kata Rizal kepada Katadata.co.id, Selasa (17/11).
Namun, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani sebelumnya mengatakan sebagian besar pengusaha masih kesulitan memperoleh kredit dari bank. Pembiyaan hanya dapat dikantongi oleh sebagian kecil perusahaan yang bisnisnya masih berjalan cukupp baik. "Yang masih bisa ambil kredit, seperti perusahaan yang memproduksi bahan pokok, obat=obatan, kesehatan, dan masih bisa ekspor. Sisanya masih kesulitan," ujar Hariyadi kepada Katadata.co.id, pertengahan bulan lalu.
Bank, menurut dia, masih melihat risiko dari bisnis yang sulit di tengah pandemi Covid-19. Banyak perusahaan yang kini membutuhkan modal kerja karena sudah tidak memiliki cukup kas untuk menjalankan operasional perusahaan. "Permintaan pembiyaan oleh perusahaan ke perbankan sangat mungkin meningkat, tetapi banyak yang pengajuannya ditolak karena prospek bisnis sedang tidak bagus," katanya.