Arah Pemulihan Ekonomi Global dan Posisi RI Setelah Krisis Covid-19
- Dunia masih berhadapan dengan lonjakan kasus Covid-19 di tengah optimisme ketersediaan vaksin.
- Selain pandemi, perang dagang hingga kondisi geopolitik turut menjadi risiko pemulihan ekonomi global pada 2021.
- Kehadiran UU Cipta Kerja dan SWF menjadi harapan bagi pemulihan ekonomi domestik yang lebih cepat pada tahun depan.
Toko-toko di pasar grosir makanan Laut Hunanan telah dibuka kembal. Turis berbondong-bondong ke Yellow Crane Tower, dan pengunjung tanpa masker bersiap menuju city's club. Sebagian besar aktivitas di Kota Wuhan, Tiongkok, yang diyakini merupakan tempat awal penyebaran Covid-19, telah kembali normal.
Setahun lalu, kota berpenduduk 11 juta orang ini pertama kali mengalami lockdown atau karantina, menyusul sejumlah kota lainnya di Cina. Ekonomi Negara Tembok Raksasa pun menjadi yang pertama anjlok akibat pandemi.
Namun Tiongkok pulih dengan cepat. Jumlah kasus di negara ini tak banyak bergerak sejak April. Kota Wuhan bahkan mulai mencatatkan nol kasus sejak pertengahan tahun saat negara lain baru menghadapi lonjakan kasus.
Kasus Covid-19 di Tiongkok terkendali sejak April dan kini menempati urutan ke-80 jumlah pengidap corona di seluruh dunia berdasarkan data Worldometers. Hingga 22 Desember, kasus di sana hanya 86.867 dengan kematian mencapai 4.634 orang. Sementara Amerika Serikat mencatatkan jumlah kasus terbanyak mencapai lebih dari 18 juta orang dengan kematian melampaui 326 ribu orang.
Ekonomi Tiongkok juga menjadi yang pertama kali pulih. Pertumbuhan negara ini hanya terkontraksi pada kuartal pertama, lalu tumbuh 3,2% pada kuartal kedua dan meningkat menjadi 4,9% pada triwulan ketiga. ADB dalam outlook terbarunya menaikkan proyeksi ekonomi Tiongkok tahun ini dari tumbuh 1,8% pada ramalan September menjadi 2,1%, sedangkan proyeksi ekonomi tahun depan tumbuh 7,7%.
Dalam outlook-nya, ADB memperkirakan Tiongkok menjadi sumber pemulihan ekonomi global pada 2021, terutama bagi negara-negara berkembang di Asia yang diproyeksi tumbuh 6,8%. Ekonomi kelompok negara ini diproyeksi minus 0,7% pada 2020, lebih dalam dari proyeksi pada September yang negatif 0,4%.
Sementara itu, ADB melihat ekonomi negara maju seperti AS dan negara-negara kawasan Eropa tak seburuk prediksi sebelumnya. Ekonomi AS diramal terkontraksi 3,5% pada tahun ini, lebih baik dari ramalan pada September yang negatif 5,3%. Demikian pula dengan proyeksi ekonomi Eropa yang dikoreksi dari sebelumnya negatif 8% menjadi negatif 7,4%.
Kehadiran vaksin Covid-19 membawa harapan bagi pemulihan ekonomi global tahun depan. Ekonomi AS tahun depan akan tumbuh 4% dan Eropa tumbuh 6%.
Bank Dunia dan IMF juga meramal ekonomi global akan membaik pada tahun depan seiring kehadiran vaksin Covid-19. Dalam Laporan Asia Pasifik edisi Oktober, Bank Dunia memproyeksi ekonomi global akan tumbuh 5,2% pada tahun depan setelah terkontraksi 4,4% pada tahun ini.
Meski kesuksesan vaksin dapat mempercepat laju pemulihan, lembaga ini melihat ada sejumlah risiko bagi perekonomian global. Pertama gelombang kedua pandemi Covid-19. Kedua, tensi perang dagang, teknologi, dan aliran dana yang berpotensi meningkat antara AS dan Tiongkok.
Ketiga, pandemi dapat memperlebar jurang ketimpangan sehingga dapat memicu konflik sosial. Keempat, dampak negatif pelonggaran kebijakan usai pandemi Covid-19 seperti banyak UMKM yang berpotensi bangkrut, risiko kredit, dan stabilitas finansial memburuk, dan risiko utang yang meningkat.
IMF dalam World Economic Outlook 2020 juga mengingatkan ekonomi global belum akan sepenuhnya pulih pada tahun depan meski meramal pertumbuhan sebesar 5,4%. Lapangan kerja masih jauh di bawah tingkat sebelum pandemi Covid-19, sedangkan kaum miskin semakin miskin dengan 90 juta orang diramal jatuh ke kemiskinan ekstrim.
"Pemulihan dari bencana ini kemungkinan akan berlangsung lama, tidak merata, dan sangat tidak pasti," kata Kepala Ekonom IMF Gita Gopinath dalam laman IMF.
Kemenangan Biden, Risiko Geopolitik, dan Perubahan Peta Global
Pandemi Covid-19 memang menjadi cerita utama yang mempengaruhi seluruh sendi perekonomian dunia pada tahun ini. Namun, banyak peristiwa besar lainnya yang terjadi dan akan bepengaruh besar bagi peta perekonomian global tahun depan.
Salah satunya kemenangan Joe Biden sebagai Presiden AS menggantikan Donald Trump. Kemenangan Biden diyakini memberi perubahan bagi arah hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok yang selama ini memanas di bawah pemerintahan Trump.
JP Morgan dalam Economic Outlook 2021 memperkirakan perang dagang antara AS dan Tiongkok masih akan menjadi risiko yang menghantui pada tahun depan. Namun kabar baiknya, Biden kemungkinan akan mengambil langkah negosiasi yang lebih lunak dengan Tiongkok sehingga para investor dan pebisnis dapat lebih percaya diri dalam mengambil keputusan.
Hanya saja, masalah perang dagang tak hanya muncul dari hubungan AS dan Tiongkok tetapi telah merambat antara Tiongkok dengan Australia. Negara Kangguru itu meminta WTO menyelidiki tarif Tiongkok atas impor jelai atau barli, sejenis serealia untuk pakan ternak penghasil malt karena menerapkan biaya tambahan hingga 80% pada produk Australia.
Kemenangan Biden juga membawa harapan pada stimulus fiskal yang lebih besar pada perekonomian AS. Biden telah menyatakan akan mendorong stimulus lebih besar bagi perekonomian AS setelah menjabat mulai awal tahun depan mencapai US$ 3 triliun. Saat ini, Kongres AS juga telah menyetujui stimulus tambahan senilai US$ 900 miliar atau setara Rp 12.600 triliun.
Selain AS, Eropa dan Jepang juga diperkirakan bakal menggelontorkan stimulus senilai miliaran dolar AS. Banjir stimulus ini diperkirakan akan turut mengalir ke aset-aset berisiko, termasuk pasar keuangan negara-negara emerging market.
Di sisi lain, JP Morgan melihat ada sejumlah risiko geopolitik yang masih akan menghantui perekonomian global pada tahun depan. Selain hubungan AS dan Tiongkok terkait Laut China Selatan, ada risiko konflik di Timur Tengah yang dapat mempengaruhi pergerakan harga minyak hingga stabilitas politik di Eropa.
Bersambung ke halaman berikut: 'Game Changer' Pemulihan Ekonomi Indonesia
Game Changer Pemulihan Ekonomi Indonesia
Tahun 2021 akan menjadi momentum yang menentukan tak hanya bagi pemulihan ekonomi global, tetapi juga Indonesia. Pemerintah pun telah menyiapkan sejumlah langkah agar pemulihan dapat berjalan lebih cepat pada tahun depan. Salah satunya, melalui Undang-undang Cipta Kerja yang hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meyakini UU Cipta Kerja dapat menjadi game changer atau pengubah permainan setelah vaksin Covid-19 dalam pemulihan ekonomi tahun depan. Beleid ini berpotensi menciptakan banyak lapangan kerja bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
"Karena penciptaan lapangan kerja akan membantu mengurangi dampak negatif terhadap mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja, dirumahkan, atau yang jam kerjanya dikurangi," ujar Airlangga dalam Webinar Nasional bertajuk Jurus Kemenko Perekonomian Meningkatkan Bisnis dan Investasi Indonesia melalui UU Cipta Kerja, pertengahan bulan ini.
Airlangga mengatakan UU sapu jagat ini bisa menjadi jawaban dari permasalahan investasi Indonesia. Selain penyederhanaan regulasi, UU Cipta Kerja dapat mendorong pembangunan melalui pembentukan Lembaga Pengelola Investasi. LPI, menurut dia, adalah solusi agar terdapat sumber pembiayaan alternatif untuk investasi dalam dan luar negeri yang tidak tergantung hanya pada pembiayaan jangka pendek.
UU Cipta Kerja dan LPI juga diharapkan mampu menangkap potensi perubahan peta investasi global pascapandemi. Pimpinan Lembaga Konsultan Global PwC di AS, Tim Ryan memperkirakan perusahaan-perusahaan asal AS akan terus merelokasi bisnis mereka dari Tiongkok. Relokasi dilakukan bukan hanya karena pandemi, tetapi juga karena tensi hubungan kedua negara yang sering kali meningkat.
Tak hanya AS, Jepang bahkan mengiming-imingi industrinya untuk merelokasi pabrik dari Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada manufaktur Negara Tembok Raksasa itu.
Pemerintah, menurut Airlangga, ingin menangkap peluang potensi relokasi industri tersebut. Berdasarkan data BKPM hingga awal bulan lalu, sudah ada 154 perusahaan yang telah berkomitmen untuk merelokasi investasi ke Indonesia. Perusahaan tersebut di antaranya berasal dari Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Taiwan, Jepang, hingga Amerika Serikat. Pemerintah pun optimistis ekonomi pada tahun depan akan tumbuh 4,5% hingga 5,5%.
Selain peluang investasi, menurut Airlangga, ada peluang dari sisi aktivitas perdagangan internasional yang akan semakin terintegrasi pada tahun depan melalui perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Perjanjian ini diteken 10 negara ASEAN dan 5 Mitra dagang besar.
Kerja sama ini diharapkan mampu mendorong kinerja ekspor dan memerbaiki posisi Indonesia di dalam rantai nilai global. BPS mencatat kinerja ekspor dan impor membaik pada November. Nilai ekspor pada bulan lalu bahkan telah melampaui periode yang sama tahun 2019.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menyebut kinerja ekspor yang membaik dipengujung tahun ini lebih didorong oelh perbaikan pada harga komoditas, sementara belum banyak bergerak dari sisi volume. Ia memperkirakan ekspor akan semakin meningkat pada tahun depan sejalan dengan perjanjian dagang RCEP, harga komoditas yang masih meningkat, dan pemulihan ekonomi dunia.
"Neraca perdagangan kemungkinan masih akan surplus tetapi menyempit karena impor yang mulai meningkat seiring pemulihan ekonomi," kata David.
Surplus besar pada perdagangan tahun ini membuat neraca transaksi berjalan surplus untuk pertama kalinya pada tahun ini. Namun, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan neraca transaksi berjalan akan negatif pada tahun depan tetapi terjaga pada rentang 1-2%.
Gejolak pada pasar keuangan akan mereda dan nilai tukar rupia diperkirakan bergerak menguat pada tahun depan. Posisi rupiah yang masih berada di level Rp 14.000 per dolar AS saat ini, menurut Perry, masih berada di atas nilai fundamentalnya.
Sementara itu, BI juga memperkirakan inflasi akan meningkat pada tahun depan pada rentang 3% hingga 4% seiring dengan kenaikan permintaan. Pada tahun ini, inflasi diperkirakan berada di bawah 2% karena lemahnya permintaan seiring pandemi.
"Ekonomi kami harapkan tumbuh 4,8% hingga 5,8%, tetapi ada satu kondisi prasyarat, yakni ketersediaan vaksin dan protokol kesehatan," kata Perry.
Pemerintah dan BI berharap pemulihan ekonomi akan secara penuh terjadi pada tahun depan. Namun, harapan tersebut tak sejalan dengan proyeksi sejumlah lembaga internasional. Meski ada kemajuan terkait ketersediaan vaksin Covid-19, Bank Dunia, OECD, dan ADB memangkas proyeksi ekonomi Indonesia pada tahun depan. Ketiga lembaga itu memproyeksi ekonomi Indonesia pada tahun depan tumbuh pada rentang 3% hingga 4,5%.