Asing Masih Kuasai Surat Utang Negara, Peran Domestik Perlu Diperkuat
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, kepemilikan asing terhadap surat berharga negara di pasar sekunder masih cukup besar. Perlu upaya meningkatkan partisipasi investor domestik di pasar SBN.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, kehadiran investor asing memang dapat menurunkan biaya pinjaman, memperpanjang jatuh tempo utang, dan meninngkatkan likuiditas pasar. Ini karena kepemilikan asing mayoritas berada pada surat utang negara tenor menengah dan panjang atau di atas lima tahun.
"Namun, investor asing cenderung sensitif terhadap risiko dan mengelola portofolio mereka secara aktif," kata Deni dalam Webinar Peran Investor Institusi Lokal Dalam Rangka Pendalaman Finansial Instrumen Saham & Surat Berharga, Rabu (10/3).
Perubahan kecil dalam alokasi aset global, menurut dia, dapat mengakibatkan aliran modal keluar. Hal tersebut akan menyebabkan penilain berlebihan pada nilai tukar, gelembung aset, hingga lonjakan permintaan kredit yang dapat mempengaruhi volatilitas makro ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan kembali di pasar sekunder per 2 Maret 2021 didominasi nonbank yakni 51,79%. Kemudian perbankan sebanyak 37,22% dan institusi pemerintah 10,99%.
kepemilikan SBN oleh institusi nonbank, terdiri dari asing 23,61%, asuransi dan dana pensiun 14,03%, lain-lain 5,08%, individu 4,12%, serta reksa dana 4,05%.
Meski kepemilikan asing sudah mulai menurun, ia menilai penting untuk terus meningkatkan partisipasi investor domestik di pasar SBN. "Dengan demikian upaya memperkuat kerja sama antara pemerintah dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan industri dalam pengembangan pasar perlu dilakukan" katanya.
Upaya tersebut dilakukan dengan memperhatikan tiga faktor utama, yaitu permintaan, suplai, dan infrastruktur. Dari sisi permintaan, dilakukan langkah pemetaan basis investor, peningkatan akses dan literasi investor, serta pemberian dukungan pengembangan structured product.
Sementara di bidang suplai, menurut dia, perlu dilakukan diversifikasi instrumen SBN melalui pengembangan skema pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investor dalam negeri dan penerbitan surat utang negara ritel secara berkesinambungan. Lalu di sisi infrastruktur, upaya dilakukan dengan review atas peraturang perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan SBN seperti pengembangan pasar repo, kebijakan perpajakan, dan pengembangan electronic trading platform yang terintegrasi.
Kendati demikian, dirinya mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah hal mudah karena masih banyaknya tantangan. Hambatan yang dimaksud yaitu terbatasnya daya serap investor domestik yang dipengaruhi masih dangkalnya pool of fund investor institusi, terkonsentrasinya investor di Jawa, serta rendahnya tingkat literasi keuangan di dalam negeri.
Kemudian, adanya mindset investor institusi yang berorientasi pada return jangka pendek. Terakhir, likudiitas pasar sekunder yang masih rendah dan belum berkembangnya instrumen derivatif.
Profesor Keuangan dan Investasi IPMI Internasional Business School Roy Sembel menyebutkan bahwa besarnya porsi asing dalam SBN menyebabkan pasar finansial Indonesia masih rentan terhadap gejolak global. "Hot money yang easy come dan easy go menyebabkan hal ini sehingga perlu diperluas basis investor lokal," kata Roy dalam kesempatan yang sama.
Perluasan basis investor lokal harus dilakukan tak hanya dari institusi lokal namun juga dari investor ritel. Tetapi, peningkatan investor ritel membutuhkan waktu dan upaya yang besar.
Maka dari itu, dia menuturkan bahwa percepatan pendalaman keuangan bisa didapatkan dengan memberdayakan investor institusi lokal. "Diperlukan strategi ekosistem untuk bisa memberdayakan investor lokal khususnya institusi," ujarnya.
Roy berpendapat bahwa investor instusi lokal sebenarnya memiliki banyak peran penting di pasar keuangan RI. Peran tersebut yakni meningkatkan stabilitas dan likuiditas pasar finansial, menjadi mitra untuk bridging menuju IPO, mengantarkan perusahaan rintisan menuju pasar modal. Selanjutnya, bisa menjadi mitra pemerintah dalam sosialisasi danh edukasi pasar finansial, menjadi investor corporate action, serta menjadi investor besar untuk SBN dan saham perusahaan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan yang akan meningaktkan daya saing.