Pemerintah Bidik 22 Obligor BLBI, Ada Tumpukan 12 Ribu Berkas
Pemerintah tengah menagih aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari 22 obligor. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, total aset yang ditagih mencapai Rp 110 triliun.
"Ada 12 ribu berkas," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA Edisi April 2021, Kamis (22/4).
Sri Mulyani menjelaskan, aset-aset BLBI saat ini berada pada kondisi yang beragam lantaran sudah berumur 20 tahun. Oleh karena itu, menurut dia, pengumpulan berbagai sumber dokumen perlu dilakukan dengan sebaik mungkin.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah saat ini terus memperbaiki berbagai informasi dan dokumen pendukung agar penagihan hak pemerintah bisa segera dieksekusi. "Semua langkah-langkah yang lebih firm sedang dipersiapkan," ujar dia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, ada enam jenis aset tagihan aset BLBI. Selain kredit, ada aset properti sekitar Rp 8 triliun, serta nostro (rekening uang asing) yang nilainya masih terus berubah. Lalu, ada pula aset dalam bentuk saham dan tabungan.
"Tagihan utang dari BLBI itu setelah menghitung perkembangan kurs, pergerakan saham, dan nilai-nilai properti yang dijaminkan," kata Mahfud usai menggelar rapat koordinasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI di kantornya, Jakarta, Kamis (15/4).
Meski begitu, Mahfud menghitung paling tidak ada 12 permasalahan yang dihadapi Satgas BLBI. Salah satu permasalahan ialah aset telah diserahkan, namun belum ditandatangani secara resmi untuk dialihkan kepada pemerintah.
Kemudian, ada pula properti yang telah diserahkan kepada pemerintah. Namun, properti tersebut digugat oleh pihak ketiga sehingga jaminan tersebut tidak bisa digunakan. "Jadi pidananya masih ada karena penipuan," ujar dia.
Mahfud pun meminta kepada obligor kasus BLBI untuk sukarela menyerahkan utangnya kepada negara setelah Mahakamah Agung memutuskan kasus ini masuk ranah perdata. Pemerintah juga telah memiliki catatan pihak obligor yang wajib membayar utang dalam kasus BLBI. "Akan sangat baik kalau secara sukarela datang ke pemerintah atau Kementerian Keuangan, karena kasus di MA sudah selesai," ujarnya.
Ia pun menjelaskan alasan pemerintah baru turun tangan dalam kasus ini lantaran sebelumnya telah masuk ranah pidana. "Kami juga baru menjadi pemerintah. Ini kan sejak 2004, sudah beberapa kali (ganti) pemerintahan," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universtas Pakuan Yenti Garnasih meminta pemerintah untuk memilah kasus yang masih dalam ranah pidana. Apalagi, kasus ini tak hanya terkait mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim. "Jangan putusannya Temenggung, langsung otomatis semuanya kasus BLBI tidak ada kasus (pidana) lagi . Terlalu buru-buru menyatakan itu," kata Yenti saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (14/4).
Ia mengatakan Syafruddin hanya dinyatakan lepas dari tuntutan pidana alias ontslag van alle rechtsvervolging. Hal ini, menurut dia, dapat diartikan bahwa yang bersangkutan tetap salah meski sekarang masuk ranah perdata. Yenti meminta pemerintah lebih jeli lagi dalam melihat kasus ini. "Jadi bukan otomatis semua rontok (kasusnya)," kata dia.