Indonesia Butuh Rp 266 T per Tahun untuk Capai Target Penurunan Emisi
Pemerintah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan dana mencapai Rp 266,2 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa angka tersebut sangat besar jika dibandingkan kebutuhan penanganan kesehatan saat Covid-19. "Dalam program pemulihan ekonomi nasional tahun ini, alokasi untuk kesehatan saja hanya Rp 172 triliun," kata Sri Mulyani dalam Webinar Climate Change Challenge: Preparing for Indonesia’s Green and Sustainable Future, Jumat (11/6).
Indonesia membutuhkan dana Rp 3.461 triliun atau US$ 247,2 miliar hingga 2030 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Meski demikian, Bendahara Negara menyebutkan bahwa anggaran yang sudah dialokasikan untuk perubahan iklim dalam APBN baru Rp 86,7 triliun per tahun. "Ini pasti tidak akan memadai karena baru 41% dari kebutuhannya," ujar dia.
Ia pun berharap agenda perubahan iklim tidak hanya dibiayai oleh APBN, tetapi juga swasta, BUMN, masyarakat, dan pemerintah daerah. Masyarakat, menurut dia, dapat membantu penurunan emisi dengan mengurangi konsumsi barang tidak ramah lingkungan hingga tak membuang sampah sembarangan. Sementara pemda bisa berkontribusi melalui pengalokasian anggaran untuk perubahan iklim dalam APBD.
Saat ini, sudah ada 11 daerah yang diuji coba untuk melakukan budget tagging atau alokasi anggaran tetap untuk perubahan iklim. Kesebelas daerah tersebut meliputi tujuh provinsi, tiga kabupaten, dan satu kota.
Tahun ini, Sri Mulyani menyebutkan bahwa akan ada enam daerah tambahan yang mengikuti program tersebut. "Kami berharap nantinya seluruh daerah bisa berpartisipasi sehingga kekuatan Indonesia bisa dua kali lipat dari APBN dan APBD dalam agenda perubahan iklim ini," katanya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 pada 2030. Kesepakatan penurunan emisi telah tertuang dalam Ratifikasi Paris Agreement yang disepakati pada 2016 lalu. "Estimasi kebutuhan investasi untuk menurunkan 314 juta ton emisi karbon sebesar Rp 3.500 triliun," ujar Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukkan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari dalam acara webinar pada akhir tahun lalu.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah akan mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Pemerintah menargetkan sektor EBT dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 156,6 juta ton CO2 atau 49,8% dari total aksi mitigasi sektor energi. "Kebutuhan investasi sektor EBT sebesar Rp 1.690 triliun," kata dia.
Ida mengatakan, Indonesia telah memiliki 10,4 gigawatt (GW) pembangkit listrik terpasang berbasis EBT hingga semester pertama tahun ini. Jumlah tersebut didominasi oleh energi hidro dengan komposisi sekitar 6,07 GW dan panas bumi sebesar 2,13 GW. Meski begitu, suplai energi primer Indonesia hingga saat ini didominasi oleh energi fosil sekitar 90%. Energi fosil itu terdiri dari batu bara, gas, dan minyak.
Sedangkan komposisi EBT dalam bauran energi primer pembangkit listrik pada akhir tahun lalu sebesar 9,15 persen. Energi primer pada 2019 pun masih didominasi oleh batu bara sebesar 37,15 persen dan gas sebesar 33,58 persen.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya memperbaiki tata kelola EBT. Salah satunya dengan menggodok Peraturan Presiden tentang harga jual, regulasi dan pemberian insentif sektor EBT. Dengan begitu, pemerintah berharap investor tertarik berinvestasi di sektor energi ramah lingkungan seperti panas bumi, air dan angin.