Rupiah Perkasa Rp 14.197 per US$ Meski Modal Asing Kabur Rp 130 Miliar
Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing kabur dari pasar keuangan domestik sebesar Rp 130 miliar dalam sepekan terakhir. Namun,
"Berdasarkan data 20-23 Desember 2021, nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp 130 miliar, terdiri dari beli neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 80 miliar dan jual neto di pasar saham Rp 210 miliar," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resminya, Jumat (24/12).
BI turut mencatat tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 23 Desember naik ke level 76,10 basis poin (bps), lebih tinggi dari 75,44 bps pada 17 Desember. Sementara itu, imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun turun ke level 6,33% pada hari ini. Yield US Treasury tenor 10 tahun naik ke level 1,493% pada perdagangan Kamis (23/12).
Sekalipun aksi jual aset di pasar keuangan berlanjut, kinerja rupiah masih kinclong. Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup pada posisi Rp 14.197 per dolar AS di penutupan pasar spot sore ini. Rupiah menguat 158 basis poin atau 1,1% dari posisi penutupan pekan lalu di Rp 14.355.
Analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto mengatakan, rupiah menguat terutama karena kekhawatiran terhadap varian baru Covid-19 Omicron yang mulai mereda. Sentimen tapering off bank sentral AS (The Fed) juga tidak lagi signifikan memberikan dampak negatif.
"Kalau dilihat memang sudah ada beberpa riset yang menunjukan tingkat keparah Omicron tidak seberat Delta. Kalaupun harus dilakukan pengetatan, mungkin tidak akan seketat sebelumnya sehingga aktivitas ekonomi masih bisa normal," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Meredanya kekhawatiran tersebut seiring munculnya beberapa hasil studi yang menunjukkan risiko dari Omicron lebih ringan. Studi Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA) menunjukkan pasien positif Omicron diperkirakan antara 31-45% lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit dibandingkan pasien yang terkena varian Delta.
Penelitan dari Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Afrika Selatan juga menunjukkan varian Omicron 70% hingga 80% lebih ringan daripada Delta. Selain itu Badan Pengawas Obat Amerika Serikat (FDA) juga telah mengonfirmasikan bahwa obat antiviral jenis Merck dan Pfizer efektif melawan Omicron. Dua jenis obat tersebut dinilai mampu menghambat virus bereplikasi.
Di samping kekhawatiran terhadap Omicron yang mereda, kekhawatiran tapering off The Fed juga tidak lagi signifikan mempengaruhi pergerakn rupiah. "Hal ini kemungkinan karena pasar sudah tidak terlalu banyak surprise lagi, sehingga sudah priced in," kata Rully.
Rully mengatakan, meredanya sentimen ini ditunjukkan dengan kinerja pasar saham yang membaik sepekan terakhir. Indeks saham utama AS juga bergerak menghijau sepekan terakhir. S&P 500 menguat 1,58%, bersama Nasdaq Composite sebesar 4,1% dan Dow Jones Industrial Average 0,42%. Indeks saham Eropa juga mengekor, FTSE 100 Inggris menguat 1,81%, CAC 40 Perancis sebesar 4,75%, Dax Jerman 1% dan Ibex 35 Spanyol 2,86%.
Indeks saham utama Asia juga mencatat tren serupa. Indeks Nikkei 225 Jepang menguat 1,61% bersama Hang Seng Hong Kong 0,62% dan Kospi Korea Selatan 0,37%.
Di sisi lain, Rully juga melihat dari dalam negeri perekonomian semakin membaik. Ini terutama optimisme pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada kuartal terakhir yang ditunjukkan dari sejumlah indikator. Keyakinan konsumen terus membaik, konsumsi juga meningkat serta kinerja manufaktur membaik. Dari sisi ketahanan eksternal juga positif didukung neraca perdagangan dan cadangan devisa yang terus naik.
"Memang secara umum kondisi Indonesia lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lainya. Ini menjadi salah satu pendorong penguatan rupiah saat ini," kata Rully.
Dengan perkembangan tersebut, ia mengatakan rupiah masih akan stabil sampai akhir tahun dan bergerak di kisaran Rp 14.100-14.300. Meski begitu, ia memperingatkan volatilitas kemungkinan akan kembali meningkat pada awal tahun depan. Ekspektasi ini sejalan dengan dimulainya percepatan tapering off The Fed pada Januari 2022.