Chatib Basri Ingatkan Dampak Pembangunan Ibu Kota Baru Membebani APBN
Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur membutuhkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Chatib Basri mengingatkan, proyek ini akan membebani keuangan negara di tengah ruang fiskal pemerintah yang semakin terbatas.
Ia menjelaskan, pembiayaan tahap awal ibu kota baru dipastikan menggunakan APBN. Menurutnya, sektor swasta baru tertarik masuk setelah infrastruktur dasar dibangun.
Selain itu, menurut Chatib, swasta baru tertarik untuk berinvestasi di proyek IKN jika pemerintah mampu memberikan jaminan bahwa pembangunannya tidak akan mangkrak di tengah jalan. Oleh karena itu, kehadiran APBN dibutuhkan untuk memberikan jaminan bahwa proyek akan berkelanjutan.
"Jaminan pemerintah ini akan menjadi beban APBN. Ia menjadi utang implisit atau contingent liabilities," tulisnya dalam kolom opini di sebuah surat kabar nasional, Kamis (3/2).
Pemerintah juga berencana menggunakan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk pembiayaan ibu kota baru. Terkait skema ini, menurut Chatib, APBN juga tetap hadir memberikan dukungan. Kerja sama tersebut, menurut dia, kemungkinan memerlukan viability gap fund atau project development agar proyeknya menjadi layak dikerjakan secara komersial.
Kementerian Keuangan sebelumnya juga menjelaskan, pembiayaan ibu kota baru akan menggunakan sejumlah skema, termasuk investasi melalui Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D). Melalui jalan ini pun, Chatib menilai keuangan tetap akan terbebani karena kebutuhan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN yang mendapatkan penugasan.
"Selain itu, risiko dari investasi BUMN juga bisa jadi contingent liabilities pemerintah sehingga ujung-ujungnya, kembali jadi beban APBN. Itu sebabnya, peran APBN secara eksplisit ataupun implisit dalam pembiayaan ibu kota negara akan relatif besar," ujarnya.
Menurut Chatib, prioritas APBN perlu difokuskan untuk kesejahteraan rakyat, yakni mengurangi kemiskinan, perlindungan kelompok rentan, mengatasi risiko ketimpangan pendapatan, akses pendidikan serta investasi di sektor kesehatan.
Direktur Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira sebelumnya juga memperingatkan pemerintah untuk hati-hati dalam menggunakan APBN membiayai proyek tersebut. Menurutnya, konsolidasi fiskal akan semakin berat dengan adanya proyek tersebut.
"Target untuk defisitnya turun ke bawah 3% akan sulit kalau belanja nya masih agresif ke mega proyek yang membutuhkan dana besar," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (19/1).
Ruang Fiskal Makin Sempit
Kehadiran proyek ibu kota baru ini bisa semakin membebani APBN jika melihat prospek penerimaan negara tahun ini yang kemungkinan tidak begitu menjanjikan seperti tahun lalu. Chatib mengatakan, keberhasilan penerimaan negara mencapai target pada tahun lalu tidak lepas dari adanya tren kenaikan harga komoditas. Sayangnya, tren ini tampaknya segera berakhir.
Ia mengatakan, riset dari Harvard Kennedy School menunjukkan, kenaikan bunga acuan The Fed dapat menurunkan harga energi dan komoditas. Kenaikan bunga acuan tersebut dapat mendorong pasar mengalihkan investasinya dari spot commodity contract kepada investasi keuangan. Akibatnya, permintaan terhadap energi dan komoditas melemah dan harganya pun akan turun.
Selain itu, ia mengatakan, prediksi Bank Dunia menunjukkan harga batu bara akan turun pada tahun depan. Karena itu, menurutnya ada resiko penerimaan pajak tahun depan akan melambat. Padahal commodity boom inilah yang juga menjasi salah satu pendorong penerimaan pajak tahun lalu bisa lepas dari shortfall 12 tahun beruntun dan penerimaan PNBP yang juga melesat.
"Faktor lain yang penting diperhatikan adalah pertumbuhan ekonomi Cina. Proyeksi pertumbuhannya menunjukkan perlambatan. Semua faktor ini akhirnya bermuara kepada satu hal, penurunan harga komoditas dan energi," kata Chatib.
Kondisi ini menyebabkan ruang fiskal semakin terbatas. Di saat penerimaan berpotensi turun, belanja akan semakin sempit. Pemerintah memiliki alokasi untuk pendidikan 20%, transfer ke daerah dan dana desa yang hampir sepertiga dari APBN, pembayaran bunga utang serta biaya penanganan pandemi Covid-19.
Dengan tantangan tersebut, Chatib memperingatkan agar pemerintah mengkaji ulang program mana yang dapat menjadi fokus dan prioritas pemerintah. Pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas belanja, terutama untuk pembangunan inklusif dan hijau.
"Anggaran lain bisa menunggu dan diberikan bertahap setelah ruang fiskal tersedia. Kita perlu membedakan mana yang harus dan mana yang ingin," ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengakui bahwa APBN pada periode 2022-2024 akan membiayai sejumlah program 'besar'. Di samping Ibu kota baru, APBN akan membiayai kebutuhan terkait pandemi serta kebutuhan anggaran untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
"Pada tahun 2022-2024 penanganan Covid-19, pemulihan ekonomi, penyelenggaraan Pemilu dan ibu kota negara, semuanya ada di dalam APBN yang akan kita desain dan pada saat yang sama defisit maksimum 3% mulai tahun 2023, akan diupayakan semuanya tetap terjaga," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai pengesahan RUU IKN pertengahan bulan lalu.