Pemerintah Waspadai Kenaikan Harga Pangan Efek Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia dengan Ukraina dipastikan berdampak kepada ekonomi domestik. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, ada risiko kenaikan harga komoditas termasuk pangan akibat gangguan suplai hingga efek jangka panjang dari sanksi keuangan barat ke Rusia.
"Perang Rusia dan Ukraina ini sudah kita lihat kenaikan harga, harga kelapa sawit yang naik karena ini sangat mengganggu suplai vegetable oil yang diproduksi oleh Ukraina dan Rusia," kata Airlangga dalam sebuah diskusi panel di acara Rapim Kepolisian RI, Rabu (2/3).
Perang Rusia dan Ukraina juga mengganggu suplai energi sehingga mendorong kenaikan harga-harga. Harga minyak mentah melonjak melampaui US$ 100 dan mendekati US$ 120 per barel. Harga batu bara melonjak 40% bersama kenaikan gas alam 17%.
"Dampak ke kita adalah ke harga pupuk karena kita impor dari Rusia dan juga terkait dengan distribusi gandum. Inilah ketergantungan kita ke dua negara tersebut," kata Airlangga.
Salah satu komoditas impor utama Indonesia dari Rusia adalah pupuk. Berdasarkan data BPS, nilai impor Indonesia dari Rusia sepanjang tahun lalu mencapai US$ 1,25 miliar. Pupuk menjadi komoditas dengan nilai impor terbesar kedua dari Rusia sebesar US$ 326,03 juta, di bawah impor ingot besi baja sebesar US$ 326,63 juta.
Perdagangan dengan Ukraina juga akan terganggu, terutama impor gandum. Nilai impor Indonesia dari Ukraina selama periode Januari-November 2021 mencapai US$ 1,01 miliar. Nilai impor gandum dan meslin pada periode tersebut mencapai US$ 897,7 juta atau 88,61% dari total nilai impor.
Ekspor ke kedua negara itu juga berpotensi terganggu. Beberapa komoditas ekspor utam Indonesia ke Rusia, antara lain minyak kelapa sawit, kopi, alas kaki, peralatan elektronik dan karet. Sementara ekspor ke Ukraina umumnya berupa vegetable oil. "Sehingga tentu jangka pendek kita harus memindahkan ekspor tersebut ke negara lain," kata Airlangga.
Di samping terimbas kenaikan harga dan gangguan suplai sejumlah komoditas, adanya sanksi dari Amerika dan sekutu terhadap lembaga keuangan Rusia juga akan menimbulkan efek ke ekonomi global.
"Dalam jangka panjangnya yakni dampak akibat dibekukannya perbankan dan ekonomi Rusia oleh negara-negara barat," kata Airlangga.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman juga menilai kenaikan harga minyak akibat perang akan berimbas pada kenaikan harga atau inflasi di Indonesia. Kenaikan harga minyak, menurut dua, akan turut mengerek kenaikan harga komoditas lainnya.
"Terutama sektor sektor yang direct menggunakan energi. Salah satunya adalah transportasi yang berhubungan dengan komoditas pasar ," kata dia dalam Diskusi Publik INDEF - Perang, Harga Minyak, dan Dampaknya bagi Ekonomi dan Bisnis di Indonesia, Rabu (2/3).
Rizal menambahkan kenaikan harga minyak akan berimbas pada kenaikan harga komoditas lainnya, termasuk pangan. Oleh sebab itu, menurut dia, pemerintah perlu melakukan langkah antisipasi untuk menahan kenaikan inflasi.
Sementara itu, Ekonom Indef Abdul Manap Pulungan menilai kenaikan harga minyak berpotensi membuat subsidi bengkak. IA menjelaskan, asumsi ICP berdasarkan APBN 2022 hanya sekitar US$63 per barel, sementara harga minyak mentah dunia saa ini telah tembus US$ 100 per barel. "US$ 37 gap nya. Itu yang harus ditutup pemerintah lewat Pertamina," ujarnya.
Meski begitu, kenaikan harga minyak sebetulnya juga berdampak pada penerimaaan negara. Meski demikian, kenaikannya tak akan signifkan jika dilihat dari capaian lifting minyak nasional akhir-akhir ini.
"Target lifting semakin rendah, sementara makin ke sini ke level 700 ribuan itupun tak tercapai. Ketika lifting itu tercapai dan semakin meningkat harga minyak naik akan memberikan dampak signifikan bagi penerimaan negara," ujarnya.
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual menilai, perang Ukraina dan Rusia menguntungkan bagi ekonomi negara-negara yang menghasilkan komoditas. Kenaikan harga sudah mulai terjadi pada minyak, gas, hingga batu-bara.
“Ini sebenarnya menguntungkan negara penghasil komoditas. Kemungkinan akan diuntungkan, secara neto akan positif. Ini tinggal bagaimana menjaga confidence domestik ke rupiah,” ujar David kepada Katadata.co.id, Kamis (24/2).
Meski demikian, menurut David, pemerintah harus mewaspadai kenaikan inflasi yang mungkin akan terdorong oleh kondisi global ini. Konflik antara kedua negara akan mendorong kenaikan harga secara global yang dapat berdampak pada inflasi di dalam negeri.