Rupiah Diramal Melemah, Terimbas Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 10 poin ke level Rp 14.338 per dolar AS di pasar spot Rabu (23/3) pagi ini. Namun rupiah diramal berbalik melemah di tengah kenaikan imbal hasil (yield) US Treasury akibat sentimen kenaikan bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik melemah ke Rp 14.341 pada pukul 09.18 WIB. Namun ini masih lebih baik dibandingkan level penutupan kemarin di Rp 14.348 per dolar AS.
Mata uang Asia bergerak bervariasi. Dolar Singapura dan ringgit Malaysia 0,02% kompak menguat 0,02%, won Korea Selatan 0,34%, peso Filipina 0,16%,, bath Thailand 0,04%. Sebaliknya, yen Jepang melemah 0,24%, dolar Hong Kong 0,01%, rupee India 0,07% dan yuan Cina 0,06% sementara dolar Taiwan stagnan.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah ke arah Rp 14.360, dengan peluang penguatan di kisaran Rp 14.300 per dolar AS. Pelemahan rupiah masih akan tertekan kenaikan yield US Treasury karena rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
"Yield obligasi pemerintah AS terus naik karena pasar mengantisipasi kebijakan suku bunga acuan AS tersebut. Kenaikan yield tersebut biasanya ikut mendorong penguatan dolar AS," kata Ariston, Rabu (23/3).
Yield tenor 10 tahun sudah naik ke 2,38% pada perdagangan kemarin, ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2019. Yield bahkan sudah naik di atas 2% sejak pekan lalu di tengah penantian rapat The Fed.
Namun, Ariston melihat sentimen pasar masih cukup positif terhadap aset berisiko, sehingga ini bisa menjadi faktor penahan pelemahan. Sebagian indeks saham Asia dibuka menguat pagi ini, menyusul indeks saham Eropa dan AS juga ditutup menguat.
IHSG menguat 0,66% dan kembali naik ke 7.000 pada perdagangan pagi ini. Kenaikan juga pada indeks Nikkei 225 Jepang sebesar 2,58% , Shanghai SE Composite 0,08%, Hang Seng Hong Kong 0,83%, Kospi Korea Selatan 0,82%, Nifty 50 India 1,16%, Taiex Taiwan 0,7% dan Strait Times Singapura 0,39%
"Di tengah berbagai isu yang menekan aset berisiko seperti risiko inflasi, perang, kenaikan suku bunga acuan the Fed, pasar masih melihat potensi pemulihan ekonomi ke depan," kata Ariston.
Selain itu, sejumlah perusahaan melaporkan kinerja pendapatan yang membaik dan melebihi ekspektasi analis. Sentimen positif ini bisa menahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully A Wisnubroto juga memperkirakan rupiah akan tertekan akibat kenaikan yield US Treasury. Rupiah bisa bergerak di rentang Rp 14.325 hingga Rp 14.377 per dolar AS.
"Hal ini juga berdampak kepada pergerakan yield SBN, dan kenaikan yield SBN biasanya memiliki korelasi signifikan terhadap nilai tukar," kata Rully kepada Katadata.co.id
Rully melihat sentimen dalam negeri sebetulnya masih cukup positif. Hal ini terutama ditopang prospek ekonomi yg baik dan kebijakan masih akomodatif, serta masih baiknya neraca perdagangan. Namun, menurutnya memang masih tidak dapat menahan sentimen negatif global, khususnya kenaikan imbal hasil US Treasury.