AS Terancam Default Utang, Bagaimana Nasib Dana Investor RI US$ 12 M?
Amerika Serikat berisiko gagal bayar utang atau default jika senat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang untuk menaikkan plafon utang. Meski kecil kemungkinan untuk mengalami bencana tersebut, risiko tetap ada dan membayangi para investor domestik yang menjadi pemegang US Treasury.
Utang pemerintah AS terus naik dan sudah mencapai batas maksimalnya. Jika legislator tak merestui peningkatan plafon utang, salah satu resikonya yakni pemerintah tak punya sumber dana lagi untuk membayar tagihan utang yang artinya akan default.
Fraksi partai Republik di DPR AS sebetulnya sudah menyetujui RUU untuk peningkatan plafon utang Amerika sebesar US$ 1,5 triliun. Namun beleid itu masih memerlukan restu dari Senat AS dan RUU yang diusulkan Republik itu datang dengan permintaan agar pemerintah membatasi pertumbuhan belanja 1% per tahun.
Oleh karena itu, ancaman default pemerintah AS masih membayangi. Hal ini tentu akan merugikan pasar keuangan bukan hanya di AS tetapi juga global karena US Treasury selama ini dikenal sebagai aset aman. Jika aset dengan kualitas aman seperti US Treasury bisa jatuh, maka akan menjadi sentimen negati funtuk portofolio lainnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, ancaman gagal bayar utang ini bisa memicu sentimen negatif dengan kenaikan imbal hasil alias yield US Treasury. Ini artinya para investor obligasi pemerintah AS itu akan merugi karena harga asetnya jatuh.
Kerugian itu bukan tidak mungkin ikut dialami para pemegang US Treasury di dalam negeri meskipun sebetulnya tidak banyak. Berdasarkan data Kementerian Keuangan AS, total kepemilikan US Treasury oleh investor Indonesia hanya mencapai US$ 12,36 miliar per Februari 2023.
Kepemilikan oleh investor domestik sebetulnya terus turun dari Februari tahun lalu masih mencapai US$ 23,5 miliar. Menurut Josua, nilai investasi dari Indonesia tidak besar karena risk appetite dari investor pada SBN juga sangat baik. Indonesia bukan termasuk negara utama pemegang US Treasury seperti negara lainnya di Asia Tenggara.
"Risiko dari default cenderung kecil karena isu tersebut bukan muncul pertama kalinya, dan pada tahun-tahun sebelumnya untuk menghindari risiko default, pemerintah AS dan Kongres akan menyepakati peningkatan plafon utang sehingga risiko peningkatan yield UST tersebut cenderung bersifat sementara," kata Josua, Jumat (28/4).
Ekonom senior KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana menyebut default pemerintah AS tentunya akan berdampak terhadap portofolio para investornya, termasuk di dalam negeri. Beberapa kepemilikan US Treasury itu juga oleh bank sentral sehingga ketika yield naik efeknya tentu akan berpengaruh terhadap posisi cadangan devisa.
Selain itu, efeknya terhadap pasar keuangan domestik juga kecil. Alasannya, reksa dana pendapatan tetap domestik yang memarkirkan dananya ke US Treasury relatif kecil dibandingkan underlying yang memakai SUN domestik. "Kalau tidak salah baru sekitar 7%," kata Fikri.
Di sisi lain, sentimen negatif di AS itu bukan tidak mungkin menjadi berkah bagi pasar keuangan domestik. Pelaku pasar bisa saja keluar dari aset dolar dan mencari tempat baru yang memiliki fundamental relatif terutama di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.