Rupiah Menguat tapi Masih Bertahan di Level 15.000/US$ Pagi Ini
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 26 poin ke level 14.996 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Pergerakan rupiah dipengaruhi oleh indeks dolar dan imbal hasil surat berharga Amerika Serikat yang melemah di tengah penantian sinyal baru kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve bulan depan.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik melemah dari posisi pembukaan ke arah 15.006 pada pukul 09.20 WIB. Namun, rupiah masih menguat 0,1% dibandingkan penutupan kemarin sore.
Mayoritas mata uang Asia lainnya menguat, kecuali rupee India yang melemah tipis 0,01%. Peso Filipina naik palinh tinggi dengan menguat 0,25% terhadap dolar AS pagi ini, disusul yuan Cina dan ringgit Malaysia 0, 24%, serta won Korsel 0,15%.
Rupiah diramal menguat hari ini seiring koreksi pada dolar AS dan imbal hasil alias yield US Treasury yang turun. Analis pasar uang Lukman Leong memperkirakan, rupiah bergerak di rentang 14.950-15.050 per dolar AS.
Ia melihat pelemahan indeks dolar dan penurunan US Treasury hanya koreksi normal. Pendorongnya karena investor menantikan serangkain data ekonomi dan pidato Gubernur The Fed, Jerome Powell untuk sinyal suku bunga lebih lanjut.
"Rupiah dan mata uang Asia umumnya telah oversold dan berpotensi rebound," kata Lukman dalam catatannya pagi ini, Selasa (27/6).
Namun, kekhawatiran pelemahan ekonomi dunia akan membebani rupiah hari ini. Di samping itu, prospek berlanjutnya kenaikan suku bunga banyak bank sentral, termasuk di AS juga masih menjadi sentimen koreksi ke rupiah.
Senada, analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan menguat seiring penguatan mayoritas mata uang regional pagi ini. Kurs garuda kemungkinan menguat ke arah 14.950, dengan potensi resisten di kisaran 15.030 per dolar AS.
"Bisa saja isu perlambatan ekonomi di kawasan Eropa dan negara maju mendorong pelaku pasar masuk ke negara emerging market yang pertumbuhannya masih relatif lebih bagus dengan tingkat inflasi stabil seperti Indonesia," kata Ariston.
Namun, ia juga sejalan dengan Lukman soal ekspektasi kenaikan suku bunga di AS masih akan jadi penekan ke rupiah. Kebijakan moneter yang masih ketat di negara maju lainnya juga dikhawatirkan semakin menekan pertumbuhan ekonomi global.