Kemenkeu Tak Khawatir Dampak Perlambatan Ekonomi Cina ke Indonesia
Kementerian Keuangan menyatakan tidak begitu khawatir dengan risiko perlambatan ekonomi Cina terhadap ekonomi Indonesia. Beberapa data menunjukkan kinerja ekonomi domestik masih tahan dari gejolak eksternal.
"Memang kita melihat ada risiko dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina meski sudah melakukan reopening perekonomiannya, ini juga kita lihat bagaimana PMI manufaktur Cina masih dalam zona kontraksi," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam konferensi pers APBN KiTA, Jumat (11/8).
Kinerja PMI manufaktur Cina masih dalam zona kontraksi dengan indeks di bawah 50, selama empat bulan terakhir, meski mulai ada tanda-tanda perbaikan. Meski demikian, dampak perlambatan di Cina itu terhadap Indonesia menurut Febrio masih 'terukur'.
Hal ini tercermin dari sisi volume ekspor Indonesia ke Cina sepanjang semester pertama 2023 naik 45,4%, pembalikan kuat setelah semester pertama tahun lalu yang turun 25,4%. "Kita masih melihat ada peluang untuk mendapatkan dampak positif dari pembukaan kembali ekonomi Cina," kata Febrio.
Dari dalam negeri, kinerja ekonomi masih cukup terjaga. Hal ini tercermin dari kinerja manufaktur Indonesia yang konsisten di zona ekspansi. Mengutip investing.com, manufaktur Indonesia berada di zona ekspansi selama 23 bulan terakhir.
Kekhawatiran terhadap perlambatan di Cina menjadi perhatian global belakangan ini usai sejumlah rilis data terbaru yang menunjukkan pelemahan.Ekspor Cina pada Juli anjlok 14,5% dibandingkan tahun lalu, penurunan terdalam sejak Februari 2020. Impor juga anjlok 12,4% yang merupakan penurunan terdalam sejak Mei 2020.
Harga-harga di tingkat konsumen pada Juli yang turun atau deflasi 0,3% dibandingkan tahun lalu. Ini merupakan penurunan harga pertama kalinya selama lebih dari dua tahun terakhir. Deflasi ini dapat menjadi sinyal konsumsi domestik Cina yang melemah.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat dampak perlambatan di Cina ke ekonomi Indonesia sudah mulai terlihat, terutama melalui neraca transaksi berjalan. Ia mencatat, impor Cina dari Indonesia cenderung turun dalam empat bulan terakhir.
Meski secara volume meningkat, tetapi ekspor ke Cina dari sisi nilai sepanjang semester pertama tahun ini melemah, hanya tumbuh 8% dari tahun lalu melonjak 29%. Penurunan ekspor ke Cina ini menurut Josua menjadi penyebab neraca dagang kuartal kedua tidak setinggi kuartal pertama maupun dibandingkan kuartal kedua tahun lalu.
Di sisi lain, pelemahan ekonomi Cina bisa membuat masyarakatnya menahan diri untuk berlibur ke Indonesia. Dengan demikian, neraca jasa di yang merupakan komponen dalam neraca transaksi berjalan juga akan tertahan.
"Kedua dampak tersebut berakibat pada potensi penurunan transaksi berjalan pada paruh kedua 2023," kata Josua, Rabu (9/8).