Ekonom: Suku Bunga Acuan Naik Bikin Konsumsi Masyarakat Lesu
Kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dari 5,75% ke level 6% dianggap berpotensi membuat konsumsi masyarakat makin lesu.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kredit konsumsi yang tinggi, terutama kredit pemilikan rumah atau KPR dan kendaraan bermotor, menyebabkan masyarakat menahan diri untuk membeli barang konsumsi.
Selain itu, Bhima memperkirakan aktivitas pelaku industri akan terhambat akibat kenaikan beban pembiayaan di sektor usaha produktif.
“Pasti akan ada efeknya terhadap fasilitas pembiayaan di sektor usaha produktif, kredit modal kerja, dan kredit investasi pun juga akan mengalami penyesuaian suku bunga,” kata Bhima kepada Katadata, dikutip Senin (23/10).
Bahkan, jika industri tetap harus meminjam, maka mereka akan melimpahkan bunga tinggi pinjaman baru kepada konsumen akhir berupa kenaikan harga produk.
“Sebelumnya, mereka akan melakukan efisiensi, kalau sudah tidak bisa lagi maka harga jual produknya harus dinaikkan, kompensasi biaya bunga yang lebih mahal itu akan diteruskan kepada konsumen,” kata Bhima.
Persoalannya, menurut dia, tidak semua segmen konsumen siap menanggung peningkatan harga produk. Mereka akan cenderung menahan diri untuk membeli barang konsumsi dan menghemat dana yang dimilikinya.
Bhima menilai kondisi ini yang akan mengganggu pertumbuhan ekonomi pada 2024 mendatang.
Terlebih, ia juga memperkirakan BI belum akan berhenti untuk menaikkan suku bunga acuan. Jadi, kenaikan suku bunga kemungkinan akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
“Ini akan sangat memukul serta mempengaruhi berbagai sektor usaha pada 2024,” kata Bhima.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet, mengatakan kenaikan suku bunga BI berdampak signifikan terhadap perekonomian, terutama dalam konteks konsumsi dan inflasi.
Sisi permintaan masyarakat akan terpengaruh oleh kenaikan suku bunga, mengingat hal ini membuat pinjaman menjadi lebih mahal. Akibatnya, daya beli masyarakat berpotensi menurun.
“Masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil pinjaman, yang pada gilirannya mengurangi pengeluaran mereka untuk berbagai keperluan,” kaya Yusuf pada Katadata.co.id, Jumat (20/10).
Sementara itu, sisi penawaran juga terdampak oleh kenaikan suku bunga. Sebab, ini akan mendorong biaya produksi perusahaan menjadi lebih tinggi, karena mereka harus membayar bunga yang lebih tinggi untuk pinjaman mereka. Sebagai akibatnya, keuntungan perusahaan berpotensi menurun.
“Secara teoritis, kenaikan suku bunga BI berdampak negatif terhadap konsumsi. Konsumsi masyarakat akan menurun karena harga barang dan jasa cenderung naik akibat biaya produksi yang lebih tinggi,” kata Yusuf.
Selain dampak pada konsumsi, Yusuf menilai kenaikan suku bunga BI juga dapat berdampak pada inflasi. Hal ini terjadi melalui penurunan permintaan agregat yang dipicu oleh kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga membuat pinjaman lebih mahal, dan ini mengurangi potensi pengeluaran masyarakat secara keseluruhan.
Dampak ini dapat membantu mengendalikan tekanan inflasi, karena permintaan yang lebih rendah dapat mengurangi dorongan harga barang dan jasa. "Sehingga, kenaikan suku bunga BI dapat digunakan sebagai alat kebijakan untuk mengatur tingkat inflasi dalam perekonomian," kata Yusuf.