Protes Tarif Pajak Hiburan, Pengusaha Hotel Ajukan Judicial Review

Ferrika Lukmana Sari
18 Januari 2024, 11:40
Pajak
ANTARA FOTO/M Risyal Hiday
Sejumlah warga berada di Anjungan Halte Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (6/11/2023). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2023 mencapai 4,94 persen secara year on year (yoy).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan akan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Kontitusi (MK) terkait ketetapan pajak hiburan yang kini di kisaran 40-75%.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Yuno Abeta Lahay mengatakan, pengajuan judicial review ini karena banyak tempat hiburan yang melekat pada hotel dan restoran.

"Kami sedang melakukan langkah judicial review dan dalam waktu dekat diajukan meski beberapa daerah telah mengeluarkan Perda, dan kemarin telah ada diskusi dengan Kemenparekraf, tapi kami rasa kurang tepat, harusnya dilibatkan juga Kemenkeu dan Kemendagri," kata Yuno dilansir dari Antara, Kamis (18/1).

Adapun isi judicial review tersebut, akan berbeda dengan gugatan yang dilayangkan Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI). Sebab, PHRI meminta pasal yang menetapkan besaran pajak 40%-75% dihapus.

"Karena pasal sebelumnya sudah ada yaitu 10%, jadi kami minta dikembalikan ke sana saja," ujarnya.

Dengan besaran tarif pajak minimal 40% dan maksimal 75%, menurut Yuno, telah memunculkan kekhawatiran dari para pelaku usaha, termasuk di Jawa Barat. Karena, sektor hiburan merupakan penunjang pariwisata.

"Hiburan dan kawan-kawannya itu kan penunjang pariwisata, kekhawatiran ini mulai terasa, saat mbak Inul (Daratista) sudah menyampaikan kunjungan, sudah dirasa turun. Kami menganggap, ada satu bagian yang terhambat dan menganggu keseluruhan bisnis pariwisata," kata dia.

Dia mengatakan, saat ini ada satu daerah di Jawa Barat yang sudah menetapkan tarif pajak hiburan 50%.

"Sejauh ini yang saya tahu, Kabupaten Bogor sudah menetapkan 50%. Kami dari PHRI sudah mulai mengumpulkan data, cuma yang baru kami dapat itu Bogor," kata dia.

PHRI juga memberikan dorongan kepada pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dalam Rakerda PHRI Jabar agar lebih peduli terhadap hal tersebut, meski pemerintah daerah memiliki keterbatasan karena mereka merupakan pelaksana undang-undang.

"Kami paham Pemprov punya keterbatasan karena ini amanat undang-undang dan musti dieksekusi, jadi kami paham tapi saya yakin dengan mengutip ucapan Menteri Parekraf semalam bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan kami percaya akan hal itu," ujarnya.

Persiapan Kenaikan Pajak Hiburan di Jabar

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Jabar Bey Triadi Machmudin meminta kabupaten dan kota di Jabar untuk melakukan persiapan terkait kenaikan pajak hiburan yang ditetapkan bagi penyedia jasa hiburan sebesar 40%-75%.

Menurut Bey, ketetapan pajak baru bagi sektor hiburan itu, merupakan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan menyesuaikan kebijakan yang diambil tersebut.

"Itu kewenangan pusat. Untuk daerah, kota/kabupaten, menyesuaikan saja. Tentunya, kami berharap kota/kabupaten sudah ada perhitungan terkait kebijakan tersebut," kata Bey.

Seperti diketahui, pajak hiburan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Melalui aturan tersebut, pemerintah daerah mengenakan pajak 40%-75% untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...