DBS Prediksi Pasokan Obligasi RI akan Lebih Rendah di 2024
Indonesia akan menghadapi risiko pasokan obligasi yang lebih rendah pada 2024 sebagaimana terungkap dalam riset tim makro ekonomi DBS. Kondisi ini tercermin dari empat faktor pendorong.
Pertama, realisasi anggaran akan lebih rendah sehingga menurunkan pembiayaan tunai, yang memungkinkan pemerintah untuk mengurangi pinjaman, seperti yang terjadi dalam dua tahun terakhir.
"Dengan demikian, total pembiayaan fiskal turun 40% secara tahunan pada 2023 menjadi Rp 360 triliun dibandingkan dengan tahun 2022," tulis riset DBS dikutip Senin (12/2).
Kedua, alokasi pembiayaan tunai (SAL) dipatok sebesar Rp 51 triliun untuk tahun 2024, meskipun DBS Macroeconomic Research Team menduga kas temporer (cash buffer) tambahan, yang kemungkinan akan naik dua kali lipat pada akhir tahun.
Ketiga, pembiayaan bruto dipatok di angka Rp 1.266 triliun dan neto Rp 666 triliun, yang keduanya kemungkinan akan lebih rendah berdasarkan revisi perkiraan defisit DBS Macroeconomic Research Team, yaitu -1,8% dari PDB tahun ini. Apalagi, risiko kesenjangan lebih sempit dibandingkan anggaran -2,3%.
Keempat, pasar juga memperkirakan pembiayaan nonutang dan program pinjaman lebih tinggi. Hal ini diperkirakan akan membantu mengurangi total penerbitan obligasi.
"Kami memandang rencana pemerintah untuk menghimpun dana Rp 240 triliun pada triwulan I 2024 (Rp 36 triliun per minggu), lebih tinggi dari triwulan IV 2023, sebagai langkah untuk melakukan pinjaman dini," tulis DBS.
Pemerintah Terbitkan 7% Obligasi dari Target
Pada pertengahan Januari 2024, pemerintah juga telah menerbitkan 7% dari target pembiayaan obligasi 2024. DBS menyebut, Indonesia telah menghimpun US$ 2,05 milyar bulan ini melalui penerbitan obligasi dolar (tenor 5 tahun, 10 tahun dan 30 tahun) dalam tiga tahap pada awal tahun.
"Obligasi tersebut diterbitkan menyusul penghimpunan dana sebesar $2 milyar melalui sukuk dolar AS/obligasi syariah pada November," kata DBS.
Selain itu, obligasi dalam mata uang asing membantu mendukung posisi neraca pembayaran, terlepas dari saldo kas rupiah, yang cukup besar. Dengan begitu, pengeluaran diperkirakan tidak akan mencapai target, terutama dengan pemilu mendominasi narasi tahun ini, yang juga akan menurunkan total kebutuhan pembiayaan.
Secara keseluruhan, menurut DBS, dinamika ini akan menurunkan gejolak pasar obligasi rupiah, tepat pada saat pelaku pasar masih fokus pada pemilihan waktu dan skala penurunan suku bunga AS tahun ini.
"Kami tetap memiliki pandangan positif terhadap ruang pendapatan tetap rupiah, dan memperkirakan penurunan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang pada akhir 2024," ujar DBS.
Seperti diketahui, DBS adalah grup jasa keuangan terkemuka di Asia, dengan kehadiran di 19 negara. Berkantor pusat dan terdaftar di Singapura, DBS berada dalam tiga wilayah pertumbuhan utama Asia yaitu Tiongkok, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Selain itu, DBS juga menyediakan berbagai layanan lengkap untuk nasabah, UKM, dan juga perbankan korporasi. Sebagai bank yang lahir dan dibesarkan di Asia, DBS memahami seluk-beluk berbisnis di pasar paling dinamis di kawasan itu.