The Fed Beri Sinyal Tak Terburu-buru Turunkan Suku Bunga Acuan AS
Para pengambil kebijakan The Fed diperkirakan masih mengambil sikap wait and see untuk menurunkan suku bunga acuan AS. Hal itu menyusul data ekonomi AS yang mengecewakan selama sepekan terakhir, termasuk inflasi yang lebih kuat dari perkiraan dan melemahnya belanja.
Kabar buruk terbaru datang kemarin, di mana kenaikan indeks harga produsen bulan Januari sebesar 0,5% bulan ke bulan, tidak termasuk makanan dan energi. Ini menunjukkan masih ada potensi inflasi yang harus ditangani dengan suku bunga tinggi.
Hal ini menyusul laporan awal pekan ini yang menunjukkan bahwa harga konsumen meningkat lebih dari perkiraan pada bulan lalu.
“Hal ini tidak menggoyahkan keyakinan saya bahwa kita menuju ke arah yang benar,” kata Presiden Federal Reserve Bank San Francisco Mary Daly menanggapi data ekonomi terkini saat berbicara kepada para ekonom di Washington pada Jumat (16/2) seperti dikutip dari Reuters.
Daly mengatakan masih ada “pekerjaan yang harus dilakukan” mengenai inflasi. Ungkapan itu akhir-akhir ini digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk memberi sinyal bahwa suku bunga saat ini akan dipertahankan lebih lama.
Namun, ia terus melihat penurunan suku bunga kebijakan The Fed sebanyak tiga perempat poin pada tahun ini sebagai jalan ke depan yang "masuk akal". The Fed telah mempertahankan suku bunga kebijakannya pada kisaran 5,25%-5,5% sejak Juli lalu.
“Kita harus menahan godaan untuk bertindak cepat ketika kesabaran diperlukan dan bersiap untuk merespons secara tangkas seiring dengan perkembangan perekonomian,” kata Daly.
Berbicara kepada CNBC, Presiden Federal Reserve Bank Atlanta Raphael Bostic tampaknya juga mempelajari pedoman yang sama.
“Kita hanya harus bersabar dan jangan terlalu jauh ke depan dan berasumsi bahwa pekerjaan telah selesai, karena masih ada pekerjaan yang harus dilakukan,” katanya.
Dia memperkirakan akan memulai penurunan suku bunga pada musim panas ini.
Ketua Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral membutuhkan kepercayaan yang lebih besar terhadap penurunan inflasi sebelum dapat menurunkan suku bunga. Data terbaru menunjukkan mungkin diperlukan lebih banyak waktu untuk mengambil kebijakan tersebut.
Sementara itu IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi AS dan Cina berpotensi turun pada tahun depan.
Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2023, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat dari 5% pada 2023, menjadi 4,2% pada 2024.
IMF menilai perlambatan itu dipengaruhi oleh krisis di sektor properti, terutama krisis utang perusahaan properti Country Garden.
Di saat bersamaan, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS akan melambat dari 2,1% pada 2023, menjadi 1,5% pada 2024.
'Dengan melambatnya pertumbuhan upah, hampir habisnya akumulasi tabungan selama pandemi, serta kebijakan moneter ketat dari The Fed, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan melambat mulai paruh kedua tahun 2023 dan berlanjut sampai 2024," kata IMF.