Pro Kontra Wacana Penarikan Retribusi Kantin Sekolah di Jakarta
Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menarik retribusi kantin sekolah di Jakarta menuai pro kontra. Bahkan rencana ini menuai penolakan dari sejumlah fraksi partai.
Saat ini Pemprov DKI Jakarta masih mengkaji wacana retribusi kantin sekolah, menyusul adanya temuan kantin di salah satu sekolah Jakarta yang ternyata menerapkan tarif sewa lapak.
“Wacana yang sempat muncul pada waktu kita pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Tentunya (retribusi kantin sekolah) memerlukan suatu kajian yang lebih cermat," kata Penjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Teguh Setyabudi di Jakarta, Jumat (22/11).
Pihaknya akan menyerahkan persoalan itu ke sekretaris daerah dan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) untuk mengkaji lebih jauh bagaimana persoalan retribusi kantin.
Namun, ia secara khusus menyatakan, laporan terkait retribusi kantin sekolah yang diusulkan Komisi C DPRD Provinsi Jakarta belum menerima laporannya hingga Jumat (22/11).
Kejelasan Mekanisme Pengelolaan Kantin Sekolah
Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta Sutikno justru ingin memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kantin sekolah negeri, bukan untuk menyudutkan pihak manapun.
"Yang saya maksud adalah perlunya kejelasan terkait mekanisme pengelolaan kantin khusus untuk sekolah negeri," kata Sutikno di Jakarta, Jumat (22/11).
Hal ini berdasarkan kunjungan kerja ke beberapa sekolah negeri di Jakarta. Pihaknya mendapatkan informasi bahwa kantin sekolah disewakan sekitar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta per tahun.
Jika pihak sekolah yang mengomersialkan kantin, dia mempertanyakan kemana aliran dana tersebut mengalir. Sehingga hal ini perlu diperjelas agar tidak terjadi penyelewengan.
Selain itu, harus ada payung hukum yang jelas untuk mengatur tata kelola kantin khusus untuk sekolah negeri. Hal ini untuk memastikan segala aktivitas yang berkaitan dengan kantin, baik itu berbayar maupun gratis, harus dilakukan sesuai aturan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Namun, jika kantin itu berbayar atau disewakan dari pihak sekolah, maka harus mengetahui secara jelas bagaimana pengelolaan dana tersebut.
"Apakah digunakan untuk kebutuhan sekolah atau tujuan lain untuk retribusi meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga bisa dapat dipertanggungjawabkan,“ kata Sutikno.
Sutikno juga mengajak semua pihak, termasuk sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah daerah, untuk bekerja sama dalam merumuskan regulasi atau payung hukum yang jelas dan transparan terkait pengelolaan kantin sekolah negeri.
Ia berharap, dengan adanya kejelasan regulasi dan payung hukum tersebut dapat menjadikan pedoman dalam pengelolaan kantin sekolah negeri, sehingga tidak ada aturan yang ditabrak oleh pihak sekolah.
"Kita tidak ingin ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama anak-anak kita yang sedang menuntut ilmu. Jadi, mari kita selesaikan persoalan ini dengan dialog dan solusi yang konstruktif," kata Sutikno.
Tuai Penolakan dari Fraksi PKB dan Nasdem
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Jakarta membantah ikut menyetujui usulan retribusi kantin sekolah sebagai bagian sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2025.
"FPKB DPRD Jakarta membantah telah menyetujui adanya usulan penarikan retribusi atas seluruh kantin sekolah di Jakarta sebagai sumber PAD,” ujar Ketua Fraksi PKB DPRD Jakarta M. Fuadi Luthfi di Jakarta, Jumat (20/11)
Menurut Fuadi, FPKB justru mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencari sumber-sumber pendapatan daerah dari sumber lain bukan dari kantin di sekolah yang merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ketimbang menyasar kantin-kantin sekolah, Fuadi mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta lebih tegas dalam menegakkan aturan retribusi pajak kepada para pengusaha besar.
FPKB DPRD Jakarta justru mendorong agar kelompok UMKM termasuk yang berada di sekolah-sekolah untuk diberi akses permodalan, sehingga usahanya berkembang sehingga bisa menyerap tenaga kerja dan mencegah pengangguran.
Dia pun menyarankan agar kantin-kantin di sekolah lebih didorong untuk menjual jajanan yang bersih dan sehat, sehingga anak-anak bisa mendapatkan makanan bergizi dan dengan harga terjangkau.
“Jangan sampai penarikan retribusi kepada kantin di sekolah-sekolah bisa berdampak pada kualitas jajanan dan mahalnya makanan di sekolah, sehingga merugikan anak-anak kita,” kata Fuadi.
Partai Nasional Demokrat (NasDem) DKI Jakarta juga menolak usulan Komisi C DPRD DKI Jakarta yang menggulirkan wacana kantin sekolah di Jakarta dikenakan retribusi untuk pendapatan daerah.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Wibi Andrino menilai usulan penarikan uang sewa kantin di sekolah ini cenderung menyusahkan para pedagang dan UMKM.
“Maka alangkah baiknya, jika mempunyai usulan, dipikirkan dahulu merugikan masyarakat atau tidak. Retribusi kantin sekolah berisiko menimbulkan dampak negatif lebih besar dibandingkan manfaatnya," kata Wibi di Jakarta, Jumat (20/11).
Oleh sebab itu, Ketua DPW (Dewan Pengurus Wilayah) Partai NasDem Jakarta itu menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan yang elok, demi kemaslahatan masyarakat Jakarta.
"Sebagai gantinya, dorong pemerintah untuk mencari solusi lain yang tidak membebani siswa, pengelola kantin, atau kualitas pendidikan" kata Wibi.
Wibi berpendapat kantin sekolah berfungsi sebagai bagian dari lingkungan pendidikan, yang menyediakan kebutuhan pokok siswa dengan harga terjangkau. Sehingga, memberikan beban retribusi pada kantin bisa menggeser fungsi tersebut menjadi berorientasi bisnis.
Dampak Gizi dan Kesehatan Pelajar Bisa Terancam
Dampaknya gizi dan kesehatan siswa-siswi bisa ikut terancam. Sebab, untuk menutupi biaya tambahan, pihak kantin kemungkinan memilih bahan yang lebih murah, yang dapat menurunkan kualitas dan nilai gizi makanan yang disediakan.
"Kebijakan ini dapat bertentangan dengan program nasional yang bertujuan meningkatkan gizi anak-anak, terutama di lingkungan sekolah," kata Wibi.
Menurut Wibi, pengenaan retribusi akan menambah biaya operasional kantin, yang kemungkinan besar akan diteruskan ke siswa dalam bentuk kenaikan harga makanan. Hal ini akan memberatkan siswa, terutama dari keluarga berpenghasilan rendah.
Ia pun berpandangan, kontribusi retribusi kantin terhadap PAD mungkin relatif kecil dibanding sektor lain. Fokus pemerintah bisa diarahkan ke sumber pendapatan yang lebih signifikan tanpa mengorbankan siswa.
"Pemanfaatan aset sekolah bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya melalui sponsor atau program kerja sama yang tidak membebani kantin," kata Wibi.