Kebijakan Baru DHE Berpotensi Ganggu Ekspor dan Tambah Beban Eksportir

Rahayu Subekti
22 Januari 2025, 15:48
ekspor
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/1/2025). Pemerintah menargetkan penerimaan bea keluar hanya sebesar Rp.4,47 triliun pada tahun 2025, target tersebut anjlok 78,6 persen jika dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp.20,9 triliun, hal tersebut disebabkan pemerintah akan kehilangan sekitar Rp.11 triliun sejalan dengan pelarangan ekspor mineral mentah.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah akan merevisi kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) dengan mewajibkan eksportir untuk menyimpan 100% devisa hasil ekspornya di Indonesia selama satu tahun.

Kebijakan ini menuai kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk para ekonom, yang menilai bahwa hal ini berpotensi mengganggu kinerja ekspor dan operasional perusahaan eksportir.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai kebijakan ini dapat menghambat kinerja ekspor Indonesia. “Ini akan membuat kinerja ekspor mungkin sedikit terhambat karena kemampuan arus kas perusahaan eksportir juga akan berkurang,” ujar Huda kepada Katadata.co.id pada Rabu (22/1).

Menurut Huda, penambahan waktu penyimpanan dan peningkatan persentase DHE SDA akan memberikan beban tambahan bagi eksportir. Hal ini terutama akan memengaruhi eksportir yang juga terlibat dalam impor barang, karena mereka memerlukan likuiditas yang cukup untuk mendukung kegiatan operasional.

“Pengusaha, baik importir maupun eksportir, memerlukan ketersediaan uang cash yang cukup guna operasional usahanya,” ujarnya.

Kekhawatiran Atas Penutupan Perusahaan Ekspor

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin juga mengkritik kebijakan ini. Menurutnya, kewajiban menyimpan 100% devisa hasil ekspor selama satu tahun dapat berujung pada penutupan banyak perusahaan ekspor.

“Ini kebijakan bagus, tapi kalau DHE disimpan 100% selama satu tahun, itu tutup semua nanti eksportir,” ujarnya dalam acara “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi.

Wijayanto menjelaskan bahwa devisa hasil ekspor sering kali digunakan untuk membayar utang, membeli bahan baku, dan mendukung operasional perusahaan.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan dunia usaha. “Kalau perlu, formulanya tergantung sektor karena masing-masing sektor memiliki model bisnis yang berbeda,” katanya.

Usulan Penerapan Bertahap

Wijayanto menyarankan agar kebijakan ini diterapkan secara bertahap. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023, eksportir saat ini hanya diwajibkan menyimpan 30% devisa hasil ekspor selama tiga bulan.

“Misal, jadi 30% selama satu tahun atau 50% selama enam bulan. Saya rasa layak dipertimbangkan,” ujarnya.

Pendapat serupa disampaikan oleh Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira. Menurutnya, penerapan kebijakan ini secara gradual lebih realistis. “Kalau 100%-nya mungkin bisa dikurangi, misalkan dari 30% menjadi 50% atau 70% untuk perusahaan tier tertentu,” ucap Bhima.

Untuk mengimbangi dampak kebijakan ini, pemerintah berencana memberikan berbagai insentif, termasuk dukungan dari sektor perbankan dan cash collateral. Namun, Huda menilai insentif tersebut belum cukup. “Pengusaha lebih membutuhkan kejelasan mengenai arus kas di perusahaannya,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...