Ekonom Perkirakan Penambahan Usia Pensiun TNI Bikin APBN Makin Tekor

Ringkasan
- Hari Ketahanan Pariwisata Global, yang diperingati setiap tanggal 17 Februari, bertujuan untuk menekankan pentingnya pengembangan pariwisata yang tahan terhadap berbagai guncangan dan mendukung pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antarsektor serta diversifikasi kegiatan dan produk.
- Pariwisata berkelanjutan atau ekowisata memiliki potensi besar dalam kontribusi pada pembangunan berkelanjutan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui stimulasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pelestarian lingkungan, promosi budaya lokal, serta pemberdayaan ekonomi wanita dan komunitas lokal.
- Sektor pariwisata dianggap penting dalam mendukung pemenuhan berbagai aspek pembangunan berkelanjutan termasuk investasi di pendidikan, infrastruktur ramah lingkungan, serta inovasi dan kewirausahaan yang bisa mempercepat transformasi kebijakan ramah lingkungan, membangun kemakmuran ekonomi, dan menyokong inisiatif pengurangan emisi karbon.

Dewan Perwakilan Rakyat resmi mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menjadi undang-undang pada pagi tadi, Kamis (20/3). Salah satu poin yang diubah dalam beleid tersebut yaitu perpanjangan usia pensiun TNI.
Jika sebelumnya perwira tinggi maksimal pensiun di usia 58 tahun, kini pangkat bintang empat bisa mencapai 63 tahun dengan opsi perpanjangan dua tahun. Untuk perwira bintara dan tamtama naik dari 53 menjadi 55 tahun.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan kebijakan ini memiliki dua sisi. Pertama, memperpanjang masa dinas bisa mempertahankan sumber daya manusia atau SDM berpengalaman di tengah ancaman kompleks, seperti serangan siber dan terorisme.
Kedua, menunda pensiun akan berimplikasi pada struktur pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Secara fiskal, Hidayat mengatakan. menunda usia pensiun dapat mengurangi beban dana pensiun jangka pendek.
“Ini karena pemerintah tidak perlu langsung membayar tunjangan pensiun untuk prajurit yang diperpanjang masa dinasnya,” ujar Hidayat.
Bisa Bikin APBN Makin Tekor?
Namun, dampak lain akan berbeda dalam jangka panjang bahkan berpotensi membuat APBN makin tekor. Hidayat menilai kebijakan penambahan usia pensiun TNI justru berpotensi menambah beban.
“Ini bisa terjadi jika jumlah penerima pensiun yang lebih tua meningkat secara signifikan. Apalagi, tunjangan pensiun TNI biasanya lebih tinggi dibanding pegawai negeri sipil karena faktor risiko pekerjaan.,” ucap Hidayat.
Di sisi lain, Hidayat mengatakan perpanjangan usia pensiun juga berarti pemerintah harus mengalokasikan anggaran tambahan. Khususnya untuk gaji dan tunjangan prajurit senior.
“Jika kenaikan belanja ini tidak diimbangi dengan optimalisasi peran TNI dalam mendukung produktivitas nasional maka kebijakan ini bisa menjadi trade-off yang kurang menguntungkan bagi APBN,” kata Hidayat.
Terlebih, di tengah tekanan defisit anggaran pascapandemi. Hidayat menyebut, setiap perubahan kebijakan yang berdampak pada belanja negara perlu dikalkulasi secara hati-hati.
Defisit APBN Bisa Tembus 3%
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai UU TNI yang baru bermasalah secara ekonomi. Bhima menilai penambahan usia pensiun TNI bisa membuat defisit APBN makin lebar.
Bhima menjelaskan, persoalan umur pensiun TNI perlu pertimbangan ruang anggaran negara. Total belanja pegawai pemerintah pada 2025 saja sudah tembus Rp 521,4 triliun atau meningkat tajam 85,5% dalam 10 tahun terakhir.
“Jika umur pensiun TNI ditambah, defisit APBN diperkirakan menembus 3% dalam waktu singkat yang artinya bisa melanggar konstitusi UU Keuangan Negara 2003,” ucap Bhima.
Di sisi lain, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai usia pensiun TNI memang terlalu muda. Apalagi usia harapan hidup semakin panjang.
Wijayanto mengatakan upaya memperpanjang usia pensiun pernah dilakukan untuk swasta dan aparatur sipil negara (ASN). “Saya rasa secara prinsip tidak bermasalah namun aspek fiskal memang perlu dicarikan solusi,” ujar Wijayanto.