Trump Diduga Kenakan Tarif Impor 32% ke Indonesia untuk Usik Cina


Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan tarif impor resiprokal atau timbal balik ke Indonesia 32%. Ekonom menduga langkah ini untuk mengusik perdagangan Cina.
Trump mengumumkan kebijakan tarif impor yang baru pada Rabu (3/4). “Menurut saya, ini adalah salah satu hari terpenting dalam sejarah Amerika," kata Trump dikutip dari The Guardian, Kamis (3/4) waktu setempat. "Ini adalah deklarasi kemerdekaan ekonomi kita."
Amerika menerapkan tarif impor minimum 10% untuk semua produk dari luar negeri, yang berlaku mulai besok (5/4). Selain itu, ratusan negara dikenakan tarif resiprokal atau timbal balik mulai 9 April, termasuk:
- Kamboja: 49%
- Vietnam: 46%
- Sri Lanka: 44%
- Bangladesh: 37%
- Cina: 36%
- Thailand: 36%
- Taiwan: 32%
- Indonesia: 32%
- Pakistan:29%
- India: 26%
- Korea Selatan: 25 %
- Jepang: 24 %
- Malaysia: 24%
- Brunei Darussalam: 24%
- Filipina:17%
- Singapura: 10%
Tarif tersebut berlaku saat banyak negara di Asia Tenggara tengah bergulat dengan dampak pemotongan dana USAID, yang menyediakan bantuan kemanusiaan ke kawasan yang rentan terhadap bencana alam dan dukungan bagi aktivis pro-demokrasi yang memerangi rezim represif.
Peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura Dr Siwage Dharma Negara menilai tarif impor tinggi yang dikenakan oleh Amerika untuk negara-negara Asia Tenggara bertujuan merugikan Cina.
"Pemerintah Amerika berpikir bahwa dengan menargetkan negara-negara ini, mereka dapat menargetkan investasi Cina di negara-negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Indonesia. Dengan menargetkan produk-produk mereka, mungkin hal itu akan memengaruhi ekspor dan ekonomi Tiongkok," katanya.
“Target sebenarnya adalah Tiongkok, tetapi dampak nyata terhadap negara-negara tersebut akan cukup signifikan karena investasi ini menciptakan lapangan kerja dan pendapatan ekspor,” kata Dharma.
Kamboja misalnya, disebut menjadi pilihan perusahaan Cina yang ingin menghindari tarif impor tinggi Amerika. Separuh pabrik di negara ini dilaporkan dimiliki oleh orang Tiongkok, sementara ekspornya didominasi oleh pakaian jadi dan alas kaki.
Padahal menurut dia, tarif impor tinggi terhadap negara-negara seperti Indonesia justru akan kontraproduktif bagi Amerika. “Beberapa perusahaan garmen dan alas kaki adalah merek Amerika seperti Nike, atau Adidas, perusahaan AS yang memiliki pabrik di Indonesia. Apakah mereka juga akan menghadapi tarif yang sama?” katanya.
Wakil Presiden untuk Asia pada Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB Woo Wing Thye juga menilai tarif impor tinggi ke negara-negara Asia Tenggara karena dianggap memiliki hubungan dagang yang lebih kuat dengan Cina.
“Trump melakukan apa yang ia lihat sebagai upaya penyetaraan hubungan dagang dan ia memberi perhatian khusus kepada negara-negara yang bersekutu erat dengan Tiongkok,” kata Woo dikutip dari CNA.
"Menargetkan negara-negara ini sama saja dengan memperluas konfrontasi dengan Cina, yang sangat disayangkan karena justru bisa mendorong negara-negara ini ke pelukan Tiongkok. Beberapa negara ASEAN sebelumnya mengatakan ingin tetap netral, tetapi tarif ini bisa mendorong mereka (untuk mendukung Beijing dalam perang dagang global)," kata dia.
Menurut dia, beberapa negara, terutama Vietnam dan Kamboja, menjadi sasaran karena mereka memiliki surplus perdagangan yang besar dengan Washington dan merupakan salah satu penerima keuntungan terbesar dari strategi China Plus One milik Beijing.
Strategi tarif impor tersebut melibatkan perusahaan yang sebelumnya mendiversifikasi rantai pasokan untuk menghindari tarif AS atas barang-barang dari Cina, dengan merelokasi operasional ke negara-negara di Asia Tenggara.
Alasan Trump Kenakan Tarif Impor Tinggi ke Indonesia
Trump menganggap sejumlah strategi ekonomi Indonesia merugikan Amerika. Pemerintah AS menyinggung bea masuk produk etanol, persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri alias TKDN hingga Devisa Hasil Ekspor atau DHE.
Menurut keterangan tertulis dari Gedung Putih, Indonesia memberlakukan tarif impor 30% untuk produk etanol dari AS. Tarif ini lebih tinggi dibandingkan pajak impor etanol Indonesia ke AS 2,5%.
“Brasil dan Indonesia mengenakan tarif lebih tinggi pada etanol dibandingkan dengan Amerika Serikat,” tulis keterangan Gedung Putih yang dirilis pada Rabu (2/4).
Gedung Putih juga mencatat Indonesia masih mempertahankan persyaratan TKDN untuk produk dan layanan yang berasal dari perusahaan AS. Kebijakan ini dianggap sebagai salah satu bentuk hambatan bisnis non-tarif yang diberlakukan oleh Indonesia kepada Amerika.
Selain itu, rezim lisensi yang kompleks terkait izin impor barang dari luar negeri. Hal ini bisa memberikan persyaratan tambahan yang harus dipenuhi oleh perusahaan asing sebelum mereka bisa memasukkan produk ke Indonesia.
Pemerintah AS juga menyoroti aturan terbaru mengenai DHE yang berlaku per 1 Maret. Presiden Prabowo menetapkan kewajiban menahan 100% DHE di dalam negeri selama satu tahun penuh, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 8 Tahun 2025.
Penerbitan regulasi teranyar merujuk pada kondisi DHE sumber daya alam yang lebih banyak disimpan di bank luar negeri ketimbang domestik. Regulasi terbaru ini bertujuan memperkuat dan memperbesar dampak dari pengelolaan DHE SDA. Aturan ini hanya berlaku untuk ekspor mulai US$ 250 ribu per transaksi.